
Penghapusan Kuota Impor, Jelas Bisa Picu Kekacauan
April 16, 2025
Proyek Titan Gagal, Pemerintah Harus Evaluasi Strategi EV Nasional
April 22, 2025Program hilirisasi batu bara yang berfokus pada gasifikasi untuk memproduksi dimethyl ether (DME) kini mulai dipertanyakan efektivitasnya. Tak hanya mahal, proyek ini juga terancam gagal karena mitra teknologi utama menarik diri. Lantas, apakah Indonesia perlu mengalihkan strategi?
Sebuah Ide Menarik, Tapi Jangan Dipaksakan
Hilirisasi batu bara melalui gasifikasi menjadi salah satu program unggulan pemerintah dalam meningkatkan nilai tambah sumber daya alam. Namun, sejumlah pakar menyarankan pendekatan ini tidak dijadikan satu-satunya jalan.
Salah satunya datang dari Mulyanto, Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) .
“Kalau memang hitung-hitungan bisnisnya tidak masuk, sebaiknya program ini tidak dipaksakan. Ujung-ujungnya nanti perlu dana subsidi dari APBN untuk produksi DME. Ini kan seperti nutup kantong kiri dan buka kantong kanan,” ujarnya.
Gasifikasi batu bara memang memiliki daya tarik tersendiri: mengolah sumber daya domestik, mengurangi impor LPG, dan menyerap batu bara dalam negeri pasca transisi dari PLTU. Namun menurut Mulyanto, strategi ini harus realistis secara teknologi dan keekonomian, bukan sekadar ambisi politik energi.
DME Lebih Mahal dari LPG Impor
Kekhawatiran Mulyanto bukan tanpa alasan. Dalam sebuah media gathering pada April 2025, disebutkan bahwa holding tambang BUMN MIND ID tengah menghitung nilai keekonomian proyek DME. Hasilnya menunjukkan bahwa biaya produksi DME jauh lebih mahal dibandingkan dengan impor LPG.
“Kalau DME lebih mahal dan butuh subsidi, sama saja kita buang uang negara untuk produk yang tidak kompetitif,” tegas Mulyanto.
Sebagai tambahan, perusahaan teknologi asal AS, Air Products, yang sebelumnya menjadi mitra kunci dalam proyek ini, telah memutuskan keluar dari konsorsium DME. Ini semakin menimbulkan keraguan soal kelayakan proyek gasifikasi jangka panjang.
Ada Alternatif Hilirisasi yang Lebih Menjanjikan
Meski proyek gasifikasi menghadapi tantangan, bukan berarti hilirisasi batu bara harus berhenti. Justru, sejumlah inisiatif alternatif yang lebih rasional secara teknologi dan bisnis sudah mulai dikembangkan oleh BUMN.
Contohnya, PT Bukit Asam (PTBA) saat ini tengah fokus mengembangkan grafit sintetis dan anode sheet, bahan baku penting untuk baterai lithium-ion (Li-ion) yang sangat dibutuhkan di industri kendaraan listrik (EV).
“PTBA sudah bekerja sama dengan BRIN untuk mengembangkan artificial graphite. Ini adalah peluang besar di tengah tren elektrifikasi kendaraan,” kata Mulyanto.
PTBA bahkan sudah menganggarkan sekitar Rp300 miliar untuk proyek percontohan (pilot project) hilirisasi batu bara menjadi grafit sintetis. Menurut Mulyanto, langkah ini lebih menjanjikan dan futuristik.
Jaga Independensi BUMN
Di tengah dinamika ini, Mulyanto menekankan agar pemerintah tidak terlalu jauh mengintervensi BUMN secara politis. Biarkan entitas bisnis negara berkembang secara sehat berdasarkan pertimbangan keekonomian, bukan semata-mata kehendak politik sesaat.
“BUMN harus diberi ruang untuk mengambil keputusan bisnis yang logis. Kalau terus diintervensi politik, potensi inovasinya bisa mati sebelum berkembang,” tegasnya.
Hilirisasi Energi Butuh Fleksibilitas dan Realisme
Hilirisasi batu bara tetap penting bagi masa depan energi Indonesia. Tapi pendekatannya harus fleksibel dan berbasis pada realitas ekonomi, bukan dogma proyek semata. Gasifikasi batu bara menjadi DME bukan satu-satunya jalan. Di tengah transisi energi dan perubahan global, alternatif seperti grafit sintetis atau bahkan bahan bakar hijau berbasis teknologi baru patut didorong lebih jauh.
Dengan membuka berbagai opsi dan menjaga prinsip akuntabilitas fiskal, Indonesia bisa memastikan bahwa hilirisasi batu bara benar-benar memberikan manfaat ekonomi, energi, dan lingkungan secara berkelanjutan.