
Hilirisasi Batu Bara Tak Harus Lewat Gasifikasi
April 19, 2025
Jangan Korbankan Peternak Demi Kepentingan Sesaat
April 23, 2025Kabar mundurnya perusahaan raksasa Korea Selatan, LG Energy Solution (LGES), dari proyek baterai kendaraan listrik senilai Rp130 triliun di Indonesia, memicu kekhawatiran akan keberlanjutan ekosistem EV nasional. MITI menyerukan evaluasi dan diversifikasi mitra strategis sebagai langkah antisipatif.
Proyek Fantastis yang Gagal Sebelum Mulai
Proyek Titan, kolaborasi ambisius antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia dan LG Energy Solution Ltd (LGES), resmi dibatalkan. Proyek yang semula digadang-gadang sebagai pilar pengembangan baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) nasional dengan nilai investasi sekitar US$7,7 miliar (setara Rp130 triliun) kini tinggal rencana.
Pembatalan ini diumumkan langsung oleh LGES pada 18 April 2025 lalu, dan menjadi sorotan tajam para pengamat dan akademisi teknologi energi di tanah air.
MITI: Pemerintah Harus Evaluasi Secara Objektif
Menanggapi perkembangan ini, Mulyanto, Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI), mendesak agar pemerintah segera melakukan evaluasi menyeluruh atas penyebab kegagalan proyek ini.
“Pemerintah harus melakukan evaluasi secara objektif untuk mengetahui alasan di balik pembatalan kerjasama proyek sebesar Rp130 triliun tersebut,” tegas Mulyanto.
Menurutnya, jangan sampai peristiwa ini hanya dianggap angin lalu, mengingat proyek tersebut merupakan bagian penting dari roadmap transisi energi dan industrialisasi hilirisasi mineral nasional.
Diversifikasi Mitra Strategis
Lebih lanjut, Mulyanto menekankan pentingnya diversifikasi mitra internasional dalam pengembangan ekosistem EV Indonesia. Ketergantungan terhadap satu negara atau perusahaan tertentu berpotensi melemahkan posisi tawar Indonesia di tengah dinamika geopolitik global.
“Diversifikasi kerjasama sangat penting untuk menjaga keseimbangan geopolitik serta memperluas sumber teknologi dan akses pasar,” jelasnya.
Ia mengingatkan bahwa ketergantungan pada satu negara dapat menimbulkan risiko tinggi, sebagaimana terjadi saat Presiden AS Donald Trump memberlakukan kebijakan tarif tinggi yang mengganggu rantai pasok global.
“Ketergantungan atau dominasi sumber teknologi atau pasar pada satu atau beberapa negara akan menjadi sangat rawan bagi pembangunan ekonomi nasional,” lanjutnya.
Proyek Dragon Masih Berjalan, Tapi Harus Diimbangi Inisiatif Lain
Meski Proyek Titan gagal, Indonesia masih memiliki Proyek Dragon, hasil kolaborasi antara PT Aneka Tambang Tbk (Antam) dan konsorsium asal Tiongkok, Contemporary Amperex Technology Co Ltd (CATL), dengan nilai investasi mencapai US$16 miliar (sekitar Rp240 triliun).
Direktur Utama Antam, Nico D. Kanter, menyatakan bahwa proyek ini merupakan program prioritas perusahaan dalam mendorong hilirisasi dan ekosistem baterai nasional.
Namun, Mulyanto mengingatkan agar pemerintah tidak hanya bergantung pada satu konsorsium besar, sekalipun proyek berjalan lancar.
“Meski BUMN kita masih punya proyek Dragon dengan CATL dari China, mundurnya LGES dari Titan tetap memberi dampak signifikan. Ini bisa memperlambat pembangunan ekosistem EV nasional,” ungkapnya.
Saatnya Refleksi dan Perluas Poros Teknologi Nasional
Kegagalan proyek Titan adalah sinyal penting bahwa pengembangan ekosistem kendaraan listrik tak bisa hanya bergantung pada satu skenario atau mitra. Evaluasi yang jujur dan perencanaan yang inklusif menjadi langkah strategis untuk memperkuat posisi Indonesia di industri energi baru terbarukan.
Dengan memperluas jaringan mitra strategis, membangun kemandirian teknologi, dan mengedepankan transparansi dalam kerjasama internasional, Indonesia dapat menjaga keberlanjutan agenda transisi energi dan industrialisasi hijau di tengah ketidakpastian global.