
Saatnya Penanggulangan Banjir dengan Sistem Terintegrasi Berbasis Sains
Maret 8, 2025
Waspada Lonjakan Harga Beras, Saatnya Pemerintah Berdayakan Petani
Maret 11, 2025Banjir bukan lagi hanya soal debit air yang tinggi, melainkan soal bagaimana data dikumpulkan, dianalisis, dan digunakan secara tepat waktu. Di era krisis iklim dan urbanisasi cepat, Indonesia dituntut membangun sistem data terpadu untuk mitigasi banjir yang lebih efektif.
Senjata Baru dalam Melawan Banjir
Ketika hujan deras mengguyur dan sungai meluap, pertanyaan utama bukan hanya “berapa tinggi air akan naik?”, tetapi juga “apa yang sudah kita siapkan?”. Menurut Budi Heru Santoso, Peneliti dari Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI), jawaban atas pertanyaan ini sangat bergantung pada satu hal: data.
“Pemerintah perlu membangun sistem data mitigasi banjir nasional. Ini bukan hanya kumpulan angka, tapi hasil analisis gabungan dari berbagai bidang—klimatologi, hidrologi, dan lainnya—yang terintegrasi dalam Platform Satu Data Air Indonesia,” jelas Budi, doktor Ilmu Lingkungan dari Universitas Indonesia.
Sistem ini dirancang agar pemerintah dapat mengakses data secara real-time untuk mendukung early warning system (EWS) dan perencanaan tanggap darurat yang lebih akurat.
Mengapa Indonesia Butuh Satu Data Air?
Indonesia memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap bencana banjir karena kombinasi faktor geografis, iklim monsun, deforestasi, hingga urbanisasi cepat seperti di Jabodetabek. Namun tantangan terbesarnya bukan hanya air itu sendiri, melainkan kurangnya sistem data yang menyatu dan bisa diandalkan.
“Permendagri 101/2018 sudah menetapkan bahwa penyediaan informasi rawan bencana adalah bagian dari pelayanan dasar. Artinya, pemerintah daerah wajib menyediakan peta rawan banjir dan sistem peringatan dini yang mudah diakses masyarakat,” terang Budi.
Dalam praktiknya, data banjir masih tersebar di berbagai instansi seperti BMKG, Kementerian PUPR, dan BNPB, tanpa sistem koordinasi yang solid. Satu Data Air Indonesia bertujuan menyatukan semua itu, menjadi pusat data nasional yang bisa dimanfaatkan untuk prediksi, respons, dan edukasi publik.
Teknologi AI dan Kepercayaan Publik
Budi menekankan, platform data ini akan membuka jalan bagi pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) dalam pemodelan prediksi banjir yang lebih presisi. Dari informasi debit sungai hingga prakiraan hujan, semuanya bisa diproses dalam hitungan menit untuk mempercepat peringatan dini ke masyarakat.
“Keakuratan informasi sangat penting untuk membangun kepercayaan publik terhadap sistem mitigasi bencana. Jika masyarakat percaya pada sistemnya, mereka akan lebih cepat bertindak saat ada peringatan,” jelasnya.
Data dari BNPB menunjukkan bahwa 60% kematian akibat banjir di Indonesia berkaitan dengan lambatnya respons terhadap peringatan dini. Ini bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal integrasi, kecepatan, dan komunikasi publik.
Melindungi Infrastruktur dan Masa Depan
Tak hanya soal nyawa manusia, sistem data banjir yang baik juga melindungi infrastruktur, pertanian, properti, dan aktivitas ekonomi yang terdampak setiap tahunnya oleh banjir. Dalam konteks krisis iklim, sistem ini menjadi bagian penting dari strategi adaptasi perubahan iklim nasional (RAN-API).
“Early warning system yang efektif tidak hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga melindungi aset miliaran rupiah per tahun yang hilang karena banjir,” ungkap Budi.
“Penyediaan peta rawan banjir dan sistem peringatan dini membantu masyarakat memahami risiko, mempercepat evakuasi, serta mengurangi dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari bencana banjir,” tambahnya.
Saatnya Satu Suara, Satu Data, Satu Sistem
Pemerintah Indonesia menghadapi momen penting: membangun Satu Data Air Indonesia sebagai sistem data terpadu untuk mengantisipasi dan menanggulangi banjir. Ini bukan proyek teknologi semata, tapi pondasi baru dalam membangun ketahanan iklim dan keselamatan publik.
“Pemerintah harus segera mewujudkan platform ini. Dengan sistem data yang terintegrasi, masyarakat dapat lebih siap menghadapi ancaman banjir, meminimalkan korban jiwa, dan mengurangi kerugian ekonomi,” tegas Budi.
Langkah ini bukan pilihan, melainkan keharusan di tengah makin ekstremnya cuaca dan meningkatnya risiko bencana.