
Penghapusan Kuota Impor Ancaman Swasembada Daging
April 10, 2025
Hilirisasi Batu Bara Tak Harus Lewat Gasifikasi
April 19, 2025Rencana Presiden Prabowo Subianto mempermudah izin impor komoditas strategis menuai sorotan tajam. Jika tidak diiringi regulasi teknis yang rinci dan sistem pengawasan yang kuat, kebijakan ini bisa berujung pada kekacauan administratif dan kerugian besar bagi produsen lokal.
Kemudahan Tanpa Kepastian Bisa Jadi Bumerang
Wacana pelonggaran izin impor, terutama untuk komoditas strategis seperti daging sapi, mengundang perhatian serius dari kalangan ilmuwan. Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) menilai kebijakan ini berisiko menimbulkan kebingungan jika tidak didukung aturan pelaksana yang jelas.
“Ide mempermudah izin impor harus dirumuskan dalam peraturan yang jelas agar tidak menimbulkan simpang-siur penafsiran di kalangan birokrasi, pengusaha, dan masyarakat,” tegas Pudjiatmoko, Peneliti MITI sekaligus mantan Atase Pertanian di Tokyo.
Ia mengingatkan bahwa tanpa dokumen teknis yang memadai, pelaksanaan kebijakan bisa menimbulkan ketidaksesuaian antara niat pemerintah dengan implementasi di lapangan.
Urgensi Dokumen Teknis dan Mekanisme Pengawasan
Menurut Pudjiatmoko, Kementerian dan Lembaga terkait perlu segera menerbitkan dokumen pelaksana yang komprehensif. Dokumen ini harus menjelaskan dengan detail komoditas strategis apa saja yang masuk dalam kebijakan ini, bagaimana mekanisme pengawasan dijalankan, serta dampaknya terhadap program swasembada pangan.
“Dokumen ini juga harus memuat mekanisme pengawasan dan evaluasi yang jelas, serta strategi mitigasi risiko untuk melindungi produsen lokal,” ujarnya.
Kejelasan ini penting agar pelaku usaha, petani, dan birokrasi tidak berjalan dalam ruang abu-abu yang dapat disalahartikan atau dimanipulasi.
Kunci Sukses: Libatkan Semua Pihak, Bukan Elit Tertentu
MITI menekankan bahwa partisipasi aktif pemangku kepentingan adalah prasyarat utama keberhasilan kebijakan impor terbuka ini. Akademisi, organisasi profesi, petani, peternak, dan pelaku industri pangan harus dilibatkan sejak awal.
“Keterlibatan semua pihak akan memperkaya perspektif, memperkuat legitimasi kebijakan, dan memastikan keselarasan dengan kondisi nyata di lapangan,” tambah Pudjiatmoko.
Jika hanya segelintir elite yang menentukan arah kebijakan, bukan tidak mungkin kebijakan justru memperdalam ketimpangan antara produsen besar dan pelaku lokal berskala kecil.
Bangun Sistem Kontrol Impor Berbasis Data
Salah satu langkah konkret yang disarankan MITI adalah membangun sistem kontrol impor berbasis data yang akurat dan real-time. Sistem ini akan mengacu pada neraca kebutuhan dan produksi nasional, sehingga kebijakan impor dapat diambil dengan lebih cermat dan adaptif.
“Keputusan impor harus responsif terhadap dinamika pasar, dan kebijakan yang diterapkan harus mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan konsumen dan perlindungan terhadap produsen domestik,” terang Pudjiatmoko.
Bukan Larangan, Tapi Harus Transparan dan Adil
MITI menegaskan bahwa pelonggaran impor bukan sesuatu yang harus ditolak. Namun, implementasinya harus mengikuti prinsip kehati-hatian, transparansi, dan akuntabilitas, serta difokuskan pada sektor industri pangan yang memang membutuhkan bahan baku dari luar negeri.
“Pelaksanaannya tidak boleh memberikan hak khusus kepada pihak tertentu. Kebijakan harus adil, terbuka, dan tetap berkomitmen melindungi produksi dalam negeri,” katanya.
Tanpa prinsip-prinsip tersebut, pelonggaran impor justru akan menimbulkan ketidakpastian usaha, merusak semangat swasembada, dan memperlemah daya saing peternak lokal.
Penutup: Jangan Biarkan Tujuan Mulia Gagal Karena Regulasi Lemah
Pelonggaran izin impor adalah langkah besar yang bisa mendorong efisiensi dan keterjangkauan pangan, tetapi hanya jika dilakukan dengan perencanaan yang matang. Regulasi teknis, pelibatan multi-stakeholder, dan sistem pengawasan berbasis data adalah fondasi utama agar kebijakan ini tidak hanya cepat, tapi juga tepat.
Tanpa itu semua, niat baik Presiden Prabowo bisa saja berubah menjadi kekacauan distribusi, merugikan produsen dalam negeri, dan menjauhkan Indonesia dari cita-cita ketahanan pangan yang berdaulat dan berkelanjutan.