
Proyek Titan Gagal, Pemerintah Harus Evaluasi Strategi EV Nasional
April 22, 2025
Waspadai Risiko Relaksasi TKDN, Jangan Sampai Korbankan Industri Dalam Negeri
April 24, 2025Rencana penghapusan kuota impor daging oleh Pemerintah memicu kekhawatiran akan dampak sistemik terhadap ekosistem peternakan nasional. MITI menyerukan reformasi tata niaga daging yang transparan, berkeadilan, dan berpihak pada produsen dalam negeri.
Di Balik Rencana Bebas Kuota Impor, Ada Risiko Kekacauan Tata Niaga
Rencana Pemerintah untuk menghapus kuota impor daging sapi dinilai bisa menjadi bumerang jika tidak dibarengi dengan perbaikan menyeluruh pada sistem perdagangan dan distribusi daging nasional. Hal ini diungkapkan oleh Pudjiatmoko, Peneliti Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) sekaligus mantan Atase Pertanian RI di Tokyo, Jepang.
“Tanpa mengubah tata kelola yang ada, kebijakan penghapusan kuota impor akan menimbulkan kekacauan dan merugikan peternak lokal,” ujar Pudjiatmoko dalam pernyataannya.
Menurutnya, ketidakkonsistenan dalam pelaksanaan kebijakan ini diduga berkaitan dengan masuknya pemain baru di sektor impor, yang berpotensi mengganggu keseimbangan pasar dan menyingkirkan pelaku usaha yang telah lama berinvestasi di dalam negeri.
Impor Bukan Solusi Jangka Panjang, Kedaulatan Pangan Harus Jadi Prioritas
Menyambut Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN), kebijakan impor kerap dianggap sebagai solusi cepat untuk menjawab kekurangan pasokan. Namun Pudjiatmoko memperingatkan bahwa pendekatan ini tidak bisa terus dijadikan alasan.
“Langkah ini tidak bisa dilihat sekadar sebagai solusi jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan menjelang HBKN atau mengatasi keluhan asosiasi importir atas keterlambatan izin,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa komitmen terhadap swasembada pangan tidak boleh hanya menjadi jargon. Swasembada bukan hanya soal produksi, tetapi juga soal kedaulatan ekonomi, perlindungan terhadap peternak, dan keberlanjutan sistem pangan nasional.
Swasembada Daging Butuh Konsistensi, Bukan Sekadar Pergantian Pemain
Pemerintah, menurut Pudjiatmoko, perlu memastikan bahwa setiap perubahan kebijakan impor dilakukan dengan prinsip transparansi, keterbukaan, dan keadilan.
“Jika kebijakan penghapusan kuota tidak dibarengi dengan sistem yang transparan dan adil, maka yang terjadi hanyalah pergantian pemain—dari importir lama ke importir baru—tanpa memperbaiki tata niaga secara menyeluruh,” ujarnya.
Menurutnya, sistem kuota memang memiliki kelemahan, namun penghapusannya tidak boleh membuka peluang bagi dominasi baru dalam bentuk monopoli terselubung. Deregulasi yang dilakukan harus mengarah pada kepastian usaha dan perlindungan kepentingan nasional, bukan pada pembentukan kartel impor baru.
Kebijakan Berbasis Data, Bukan Lobi dan Kepentingan
MITI mendorong agar evaluasi dan harmonisasi kebijakan impor daging yang saat ini sedang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan bersama kementerian dan lembaga lain harus menghasilkan sistem yang berbasis data, transparan, dan responsif terhadap dinamika pasar domestik.
“Tanpa sistem ini, pembebasan kuota hanya akan melahirkan kebingungan, persaingan tidak sehat, dan potensi disrupsi pasokan yang lebih besar,” jelas Pudjiatmoko.
Ia juga meminta agar pemerintah mengungkap secara terbuka siapa saja pihak yang akan memperoleh akses impor, dan melakukan audit terhadap implementasi kebijakan sebelumnya.
“Pemerintah perlu menyampaikan secara transparan dasar evaluasi dan rencana implementasi penghapusan kuota impor. Audit perlu dilakukan untuk mengidentifikasi potensi konflik kepentingan atau praktik monopoli tersembunyi,” tandasnya.
BUMN Impor Daging: Solusi atau Ancaman?
Pada 2025, BUMN mendapatkan jatah kuota impor daging sebesar 100 ribu ton dari total 180 ribu ton. Menurut Pudjiatmoko, hal ini harus diiringi dengan pengawasan ketat agar tidak meminggirkan pelaku usaha lokal yang berpengalaman.
“Penguatan sektor peternakan dalam negeri memerlukan perlindungan pasar domestik dan dukungan rantai pasok lokal, bukan hanya membuka jalan bagi aktor baru,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa swasembada bukan mimpi, asalkan kebijakan tidak dikorbankan demi kepentingan jangka pendek atau sekadar ganti pemain.
Penutup: Saatnya Tata Niaga Daging Dibenahi Secara Menyeluruh
MITI mengingatkan bahwa solusi terhadap tingginya harga daging dan rendahnya konsumsi protein hewani di Indonesia tidak cukup hanya dengan membuka kran impor. Pemerintah harus fokus pada peningkatan kapasitas produksi dalam negeri, memperbaiki distribusi, serta memastikan kebijakan pangan yang berkelanjutan dan berpihak pada produsen lokal.
Ke depan, swasembada daging harus dikawal dengan indikator yang terukur, melibatkan investor swasta yang kredibel, dan menjamin kompetisi yang sehat dalam distribusi komoditas pangan strategis.
“Jika benar ingin menciptakan harga daging yang terjangkau, konsumsi protein hewani yang meningkat, dan usaha yang kompetitif, maka solusi bukan hanya soal kuota atau izin impor—tetapi keberpihakan terhadap produsen dalam negeri,” pungkas Pudjiatmoko.