
Satu Data Air Indonesia untuk Mitigasi Banjir
Maret 10, 2025
Swasembada Pangan 2027 Terancam Gagal Total
Maret 12, 2025Gagal panen di sentra produksi dan meningkatnya permintaan jelang hari raya bisa menjadi kombinasi sempurna bagi lonjakan harga beras. Tapi adakah strategi yang lebih berkelanjutan dari sekadar impor.
Tanda Bahaya di Sektor Pangan
Kondisi pasokan beras di Indonesia tengah berada dalam situasi genting. Hujan lebat yang terus mengguyur sejumlah wilayah sentra produksi telah menyebabkan gagal panen di berbagai tempat. Di sisi lain, permintaan beras justru melonjak tajam menjelang hari-hari besar keagamaan.
Menurut Pujiatmoko, peneliti Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI), ini bukan kondisi biasa. Pemerintah perlu bertindak cepat dan cerdas untuk mengantisipasi kenaikan harga beras yang bisa memicu keresahan sosial.
“Pemerintah jangan hanya mengandalkan impor untuk menutupi kebutuhan masyarakat. Harus ada program yang lebih memberdayakan petani agar bisa bertahan dalam kondisi sulit seperti sekarang,” tegas Pujiatmoko, yang juga mantan Atase Pertanian RI di Tokyo.
Impor Bukan Solusi Permanen
Ketergantungan terhadap beras impor masih menjadi strategi utama saat pasokan domestik menipis. Namun, strategi ini tidak menyelesaikan akar persoalan. Ketika produksi dalam negeri terus mengalami tekanan, mulai dari perubahan iklim hingga inefisiensi distribusi, kebijakan jangka pendek seperti impor justru berpotensi melemahkan daya saing petani lokal.
“Stabilisasi harga beras masih jadi masalah menahun. Operasi pasar yang biasa dilakukan Bulog belum sepenuhnya efektif karena bersifat responsif dan belum merata menjangkau seluruh wilayah,” jelas Pujiatmoko.
Ia menyarankan agar pendekatan yang digunakan lebih struktural dan preventif, bukan hanya bersifat reaktif saat harga sudah terlanjur melonjak.
Distribusi Beras Terlalu Panjang dan Mahal
Salah satu penyebab utama ketidakefisienan pasar beras adalah panjangnya rantai distribusi yang menghubungkan petani dengan konsumen. Hal ini memberikan ruang bagi praktik-praktik spekulatif, terutama oleh tengkulak yang kerap memainkan harga.
“Jalur distribusi beras kita terlalu panjang. Seharusnya dibuat sistem yang lebih sederhana agar selisih antara harga produksi, distribusi, dan penjualan tidak terlalu jauh,” jelas Pujiatmoko, lulusan doktoral dari Gifu University, Jepang.
Distribusi yang lebih efisien akan mempersempit ruang manipulasi harga dan memperbesar margin keuntungan bagi petani, tanpa membebani konsumen.
Transparansi dan Strategi Cadangan Beras Nasional
Tak kalah penting adalah pengelolaan stok dan cadangan beras nasional yang masih memerlukan pembenahan. Pujiatmoko menekankan pentingnya peningkatan transparansi dalam pengelolaan beras oleh instansi terkait seperti Bulog dan Badan Pangan Nasional (BPN).
“Bulog perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan stok dan impor beras. Bersama BPN, Bulog harus memperbaiki strategi cadangan beras agar benar-benar efektif. Dengan demikian, tidak ada celah dan alasan bagi siapapun untuk mendorong impor,” ujarnya.
Langkah ini krusial untuk menjaga ketahanan pangan nasional, khususnya dalam situasi darurat atau ketika produksi terganggu oleh faktor eksternal seperti bencana alam atau krisis global.
Kesimpulan: Kedaulatan Pangan Dimulai dari Petani
Lonjakan harga beras bukan sekadar urusan pasar dan perdagangan, tapi juga mencerminkan kerentanan sistem pangan kita. Ketika petani tidak diberdayakan dan distribusi tidak diperbaiki, maka stabilitas harga akan terus menjadi persoalan berulang.
“Solusi jangka panjang harus berpijak pada kekuatan dalam negeri. Memberdayakan petani, menyederhanakan distribusi, dan membangun sistem stok beras yang transparan adalah langkah utama menuju kedaulatan pangan,” tutup Pujiatmoko.
Kini saatnya Pemerintah berani mengambil langkah strategis yang tidak hanya menenangkan pasar sesaat, tapi juga memperkuat fondasi ketahanan pangan Indonesia ke depan.