
Pesawat N219 Amfibi, Langkah Strategis Kemandirian Teknologi Nasional
Maret 6, 2025
Giant Sea Wall: Solusi atau Ancaman Baru bagi Pantura?
Maret 7, 2025Di balik ambisi besar swasembada pangan melalui program Food Estate, para ilmuwan mengingatkan: tanpa keterlibatan petani, program ini berisiko menciptakan ketimpangan baru dan gagal menjawab kebutuhan lokal.
Food Estate Bukan Proyek Elite
Pemerintah telah menetapkan Food Estate sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) 2025–2029, sebagai upaya untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Namun, ilmuwan pertanian dari Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI), Pujiatmoko, mengingatkan bahwa proyek sebesar ini tak boleh berjalan dengan pola top-down yang mengabaikan akar rumput—yakni petani kecil.
“Petani kecil harus dilibatkan lebih aktif dalam pengelolaan dan pengambilan keputusan, bukan sekadar menjadi pekerja,” ujar Pujiatmoko. “Keterlibatan petani dalam hasil keuntungan pertanian sangat penting untuk memastikan keberhasilan program Food Estate.”
Menurutnya, jika petani hanya menjadi tenaga kerja dalam sistem yang dikendalikan elite atau korporasi, maka Food Estate bisa menjadi “ladang investasi” yang justru memperlebar jurang ketimpangan, bukan menjawab krisis pangan.
Risiko Sistem Monokultur dan Sentralisasi Produksi
Pujiatmoko menekankan bahwa program Food Estate tak boleh terpaku pada satu komoditas atau sistem monokultur berskala besar. Justru sebaliknya, ia harus menjadi platform pertanian yang beragam dan inklusif.
“Kebutuhan masyarakat terhadap produk pertanian sangat beragam. Sistem monokultur itu berisiko tinggi karena rentan terhadap fluktuasi pasar dan serangan hama,” jelas Pujiatmoko, yang pernah menjabat sebagai Atase Pertanian di Tokyo.
Sistem pertanian terpadu dengan diversifikasi komoditas dan teknologi ramah lingkungan dinilai lebih berkelanjutan dalam jangka panjang. Hal ini juga membuka peluang untuk menyerap lebih banyak tenaga kerja lokal dan memanfaatkan potensi wilayah secara maksimal.
Bangun Infrastruktur dari Bawah dan Partisipasi Lokal
Menurut Pujiatmoko, keberhasilan Food Estate juga bergantung pada kualitas infrastruktur pertanian di lapangan. Tanpa jalan yang layak, irigasi yang efisien, dan gudang penyimpanan yang memadai, petani akan kesulitan mengakses pasar atau menjaga mutu hasil panen.
“Infrastruktur yang buruk menghambat distribusi dan akses petani ke pasar. Oleh karena itu, prioritas utama harus diberikan pada pembangunan jalan, sistem irigasi, dan fasilitas penyimpanan,” tegasnya.
Ia juga menyarankan agar kebijakan Food Estate benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan lokal. Proses perencanaan dan implementasi harus melibatkan petani dan masyarakat setempat agar tidak ada kebijakan yang “turun dari atas” tanpa memahami konteks wilayah.
Pendanaan dan Monitoring yang Transparan
Tak kalah penting adalah akses pada skema pembiayaan yang adil dan transparan. Banyak petani kecil terkendala modal dan informasi untuk ikut terlibat dalam proyek skala besar seperti ini. Untuk itu, pemerintah perlu memberikan fasilitas kredit lunak dan model pembiayaan yang mudah dijangkau.
“Pemberian kredit berbunga rendah dan skema pembiayaan yang jelas akan sangat membantu meningkatkan partisipasi petani dalam program ini,” kata Pujiatmoko.
Ia juga mendorong penerapan sistem monitoring berbasis data untuk mengevaluasi efektivitas kebijakan dan mengantisipasi masalah sejak dini.
“Evaluasi yang transparan dan terstruktur akan memastikan keberlanjutan program ini,” tutupnya.
Jangan Tinggalkan Akar Rumput
Program Food Estate memang menjanjikan lompatan besar dalam ketahanan pangan Indonesia. Tapi untuk menjadi solusi yang adil dan berkelanjutan, pemerintah harus menjamin keterlibatan petani kecil, memperkuat infrastruktur, dan meninggalkan pola pembangunan eksklusif yang hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Tanpa itu, Food Estate bisa menjadi bangunan megah yang berdiri di atas fondasi rapuh—tanpa dukungan dari mereka yang seharusnya menjadi tulang punggung: para petani Indonesia.