
MITI Ingatkan: Riset dan Inovasi Jangan Jadi Korban Efisiensi Anggaran
Februari 11, 2025
Kerja Sama Drone Indonesia-Turki Bisa Hidupkan Kembali RISTEK Nasional
Februari 17, 2025Mundur dari Paris Agreement, AS Jadi Alarm Bagi Indonesia untuk Koreksi Strategi Energi Bersih
Keputusan Amerika Serikat untuk mundur dari Paris Agreement yang disampaikan Presiden Donald Trump kembali memicu perdebatan global soal arah kebijakan transisi energi. Di Indonesia, sinyal ini disambut dengan keprihatinan dan ajakan reflektif dari kalangan ilmuwan.
Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI), Mulyanto, menilai momen ini sebagai saat yang tepat bagi Indonesia untuk mengevaluasi kembali arah kebijakan Energi Baru dan Terbarukan (EBT), terutama dalam konteks ambisi mencapai Net Zero Emission (NZE) 2060.
“Mundurnya Amerika Serikat dari Perjanjian Paris sebagaimana disampaikan Presiden Trump beberapa waktu lalu, perlu kita sikapi dengan bijak. Termasuk di antaranya adalah program pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU),” ujar Mulyanto, yang juga mantan anggota Komisi Energi DPR RI periode 2019–2024.
Evaluasi Kebijakan EBT Bukan Soal Ikut Tren
Menurut Mulyanto, Indonesia tidak boleh menjalankan kebijakan EBT hanya karena mengikuti arus global atau sekadar pencitraan politik. Transisi energi harus mempertimbangkan dengan matang kapasitas domestik dan kepentingan jangka panjang nasional.
“Implementasi program EBT ini harus mempertimbangkan berbagai faktor. Bukan sekadar ikut-ikutan atau gagah-gagahan,” tegasnya.
Ia mengingatkan, dalam kondisi fiskal yang terbatas, Indonesia justru bisa terjebak memilih solusi mahal yang memperbesar ketergantungan pada teknologi dan pendanaan asing.
“Kita tidak ingin, demi program EBT, kita malah memilih opsi pembangkit listrik yang mahal atau menjadi lebih tergantung kepada teknologi impor,” tambah Mulyanto.
Risiko Pensiun Dini PLTU dan Power Wheeling
Salah satu kebijakan yang dikritik adalah rencana pensiun dini PLTU yang dinilai terlalu terburu-buru dan belum memberikan keuntungan ekonomi yang nyata bagi Indonesia.
“Apalagi memaksakan diri untuk melakukan program pensiun dini PLTU yang jelas-jelas tidak menguntungkan kita secara ekonomis,” ujarnya.
Ia juga menyoroti skema power wheeling — sistem liberalisasi kelistrikan yang memungkinkan swasta menggunakan jaringan PLN — sebagai langkah yang bertentangan dengan konstitusi dan kedaulatan energi nasional.
“Atau gagah-gagahan meliberalisasi sektor kelistrikan nasional, dengan mengadopsi skema power wheeling yang melanggar konstitusi,” kata Mulyanto dengan nada tegas.
Janji Manis Negara Maju dan Ancaman Ketergantungan
MITI juga mengingatkan pemerintah untuk tidak terlalu percaya pada janji negara-negara maju yang menawarkan dana transisi energi hijau. Janji bantuan senilai USD 20 miliar (sekitar Rp 300 triliun) dari negara-negara penggagas Just Energy Transition Partnership (JETP), misalnya, hingga kini belum terealisasi jelas.
“Kita harus fokus pada kepentingan nasional kita (national interest),” tegas Mulyanto. “Jangan termakan janji-janji manis negara maju. Uni Eropa saja maju-mundur dalam implementasi program ini pasca perang Rusia-Ukraina. Sekarang AS malah menarik diri dari Perjanjian Paris.”
Ia mengingatkan bahwa negara-negara maju kerap menempatkan kepentingan domestik mereka di atas solidaritas global, apalagi dalam konteks ketahanan energi dan geopolitik.
Pemerintah Harus Realistis, Bukan Anti-Lingkungan
Merespons dinamika global, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dalam forum investasi di Jakarta menyatakan bahwa Indonesia akan mempertimbangkan perubahan sikap AS terhadap Paris Agreement dalam menyusun langkah transisi energi ke depan. Artinya, pemerintah menyadari bahwa peta jalan menuju NZE perlu disesuaikan dengan kondisi geopolitik dan realitas domestik.
Kemandirian Energi Harus Jadi Kompas
Keputusan AS keluar dari Paris Agreement menjadi cermin penting bagi Indonesia untuk tidak terlalu bergantung pada tekanan internasional dalam menyusun kebijakan energi bersih. Evaluasi menyeluruh atas arah transisi energi mutlak diperlukan—bukan sebagai penolakan terhadap keberlanjutan, melainkan demi memastikan bahwa kebijakan yang diambil betul-betul adil, layak, dan sesuai dengan daya dukung nasional.
Dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, ketahanan energi, dan teknologi dalam negeri, Indonesia bisa merancang masa depan energi hijau yang lebih berdaulat dan berkelanjutan.