
MITI Dorong Konsistensi Prabowo untuk Industri Berbasis RISTEK
Oktober 31, 2024
Penyimpangan Subsidi BBM ke BLT Tidak Boleh Terjadi
November 4, 2024Jakarta – Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) menyampaikan keprihatinan serius atas terjadinya rentetan kecelakaan kerja di kawasan industri smelter nikel Morowali, Sulawesi Tengah. Ledakan yang terjadi pada 25 Oktober 2024 di PT DSI dan 30 Oktober 2024 di PT ZTEN, keduanya di bawah naungan perusahaan asal Tiongkok di Kawasan Industri IMIP, menjadi alarm keras akan lemahnya pengawasan keselamatan kerja.
Pembina MITI, Dr. Mulyanto, menilai insiden beruntun ini merupakan bukti bahwa program hilirisasi nikel nasional selama ini dijalankan tanpa standar Health, Safety, and Environment (HSE) yang ketat. Ia menegaskan bahwa keselamatan pekerja tidak boleh dikorbankan demi ambisi investasi dan target ekspor semata.
“Pemerintah harus mengambil tindakan tegas. Cabut sementara izin operasional smelter yang bermasalah, dan lakukan audit menyeluruh terhadap mesin, peralatan, dan sumber daya manusianya,” tegas Mulyanto.
Minimnya Standar HSE, Ancaman Nyata bagi Buruh dan Lingkungan
Menurut Mulyanto, hingga saat ini belum ada audit komprehensif terhadap smelter-smelter di Morowali, khususnya yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok. Padahal, standar HSE mengharuskan industri smelter memiliki sistem manajemen keselamatan kerja yang meliputi:
- Inspeksi berkala terhadap instalasi bertekanan tinggi dan suhu ekstrem.
- Sertifikasi kelayakan alat dan perlindungan teknis terhadap risiko ledakan.
- Pelatihan keselamatan kerja yang berkelanjutan bagi semua level pekerja.
- Prosedur tanggap darurat yang teruji.
- Audit independen terhadap dampak lingkungan dan sosial.
“Kita harus benar-benar mempertanyakan kualitas mesin dan manajemen keselamatan kerja di smelter-smelter tersebut. Jika tidak diperketat, pekerja akan terus menjadi korban dan bekerja dalam ketakutan,” ujar Mulyanto.
Ia menambahkan, lemahnya penerapan HSE bukan hanya merugikan pekerja dan lingkungan, tetapi juga menggambarkan buruknya tata kelola industri nasional, di mana pemberian izin usaha tidak disertai dengan pengawasan yang memadai.
Program Hilirisasi Perlu Evaluasi Total
MITI menilai peristiwa ini menjadi momen yang tepat bagi Pemerintah untuk mengevaluasi secara menyeluruh program hilirisasi mineral, khususnya nikel. Hilirisasi yang dijalankan saat ini dinilai setengah hati, karena hanya menghasilkan produk antara seperti nickel pig iron (NPI) dan ferro nikel, yang nilai tambahnya rendah.
“Ironisnya, lebih dari 90 persen nilai ekspor produk smelter justru dinikmati oleh investor asing. Negara sudah memberikan berbagai insentif fiskal dan non-fiskal, termasuk pembebasan pajak penghasilan dan bea ekspor, tetapi kontribusi terhadap penerimaan negara masih sangat kecil,” jelasnya.
Selain kerugian ekonomi, Mulyanto menyoroti dampak sosial dan lingkungan yang tidak kalah serius. Konflik antar pekerja, kerusakan lingkungan, dan kecelakaan kerja yang berulang menjadi konsekuensi dari kebijakan hilirisasi yang tidak berorientasi pada keberlanjutan dan keselamatan.
Menuntut Keberpihakan pada Kedaulatan Nasional
MITI menyerukan agar Pemerintah tidak sekadar mengejar angka investasi, tetapi lebih berfokus pada penciptaan nilai tambah domestik yang sesungguhnya, melalui:
- Peningkatan kapasitas riset dan teknologi nasional.
- Pengetatan standar keselamatan industri.
- Pembatasan keterlibatan asing pada sektor strategis.
- Penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan dan K3.
“Kita tidak bisa terus mengorbankan keselamatan anak bangsa demi mengejar ekspor bahan baku setengah jadi. Program hilirisasi harus dijalankan secara utuh dan berdaulat, demi kemakmuran rakyat dan martabat bangsa,” pungkas Mulyanto.