
Masyarakat Imuwan dan Teknolog Indonesia Dirikan Gedung MITI Center
September 3, 2013MITI : Pembangunan Karakter SDM IPTEK Indonesia, Modal Utama Berkiprah di Tanah Air
October 24, 2013Bagaimana caranya meneliti material berukuran nanometer atau sepermiliar meter? “Untuk melihat struktur materi seukuran nano atau 10 pangkat minus sembilan meter, perlu perlengkapan khusus yang tak ada di Indonesia. Alat itu hanya bisa diimpor dengan harga satu unitnya mencapai sekitar Rp 2-3 miliar,” kata Ratno Nuryadi.
Berangkat dari keterbatasan alat riset di Indonesia, khususnya alat riset yang mendukung pengembangan bidang nanoteknologi, perekayasa bidang teknologi material BPPT, Ratno Nuryadi, berhasil menciptakan alat pengukur nano pertama di Indonesia.
“Ini adalah mikroskop nano pertama yang diciptakan di Indonesia dengan modal sekitar Rp 50 juta saja dan dibuat dengan bahan-bahan sederhana,” kata pria kelahiran Bantul 17 Oktober 1973 ini.
Ditanya soal keandalan alatnya, ia mengatakan, mikroskopnya itu prinsipnya sudah bekerja secara normal, namun secara teknis perlu dioptimalisasi lagi agar penampilannya lebih baik.
Nanoteknologi, jelasnya, merupakan teknologi yang sedang berkembang pesat di dunia karena materi yang disusun dengan teknologi nano akan memiliki karakter dan fungsi berbeda dengan materi yang tersusun tanpa teknologi nano.
Mikroskop nano itu, urainya, bukan mikroskop biasa, karena menggunakan teknologi peraba materi seperti jarum yang akan menyusuri struktur materi dan kemudian menampilkan strukturnya di layar komputer dengan menggunakan software tertentu. Cara kerjanya mirip perlengkapan mikroskop nano yang ada di dunia.
Alat yang ia beri nama Nanoscope ini berhasil mengantarnya mendapat penghargaan Achmad Bakrie untuk kategori Peneliti Muda di bawah 40 tahun.
“Selama masa pendidikan saya di Jepang, saya memperhatikan bahwa lembaga riset Jepang itu dalam memenuhi kebutuhan alat pendukung risetnya mereka buat sendiri. Saya berpikir mengapa kita tidak menerapkan hal yang sama juga disini?”, ungkap pria yang menghabiskan masa kecilnya di daerah Bantul Jawa Tengah tersebut.
Ratno mengungkapkan bahwa pengalaman masa kecilnyalah yang mejadikan dia sosok seperti sekarang ini. “Dengan ayah yang berprofesi sebagai guru SD memacu saya untuk belajar dengan keras sehingga saya pun akhirnya berhasil mendapatkan beasiswa Science and Technology for Industrian Development (STAID) BPPT III”.
Disanalah awal mula anak ke-2 dari tiga bersaudara ini bergelut dengan dunia nano. Berawal sebagaiuser mikroskop gaya atom (Atomic Force Microscope, disingkat AFM), Ratno mulai mencoba mengembangkan sendiri AFM tersebut, mulai dari sensor partikel hingga Nanoscope seperti sekarang ini.
Sekembalinya Ratno ke Indonesia tahun 2008, ia mulai menyelesaikan tahap akhir pengembangan AFM yang digabungkan dengan local content di Indonesia. Ratno yang memenangkan penghargaan PPMI dengan makalah berjudul “Manufactur Atomic Force Microscope (AFM) dan Aplikasinya pada Nanoteknologi” itu kemudian menciptakan mikroskop material renik yang disebut AFM (Atomic Force Microscope).
“Limapuluh persen komponen Nanoscope merupakan komponen dalam negeri. Inilah yang membuat Nanoscope menjadi lebih murah dibandingkan produk sejenis yang didatangkan dari luar negeri,”katanya.
Nanoscope tidak hanya berfungsi untuk melihat struktur nano, tapi juga dapat mengukur sifat kimia, sifat magnet serta sifat fisika lainnya yang ada pada nano dengan resolusi yang sangat tajam.
Pada prinsipnya Nanoscope sama dengan microscope, yang membedakan adalah Nanoscope menggunakan teknologi peraba seperti jarum yang sangat kecil yang akan menyusuri struktur nano dan menampilkannya di komputer.
Pria yang lebih senang menghabiskan waktunya di laboratorium ini mengungkapkan keinginannya untuk selalu memajukan nanoteknologi di Indonesia. Ia berharap dengan adanya Nanoscope ini dapat menstimulasi dan memberikan rangsangan bagi para peneliti khususnya di bidang nanoteknologi untuk berbuat yang lebih bagi Indonesia.
“Saat ini geliat nanoteknologi di Indonesia sudah mulai terlihat, baik itu di lembaga penelitian pemerintah, swasta maupun lembaga pendidikan. Bahkan Kementerian Perindustrian sudah memilikiroadmap akan pengembangan nanoteknologi untuk industri di Indonesia. Tentunya agar roadmap tersebut dapat berjalan, perlu adanya sinergi diantara pihak-pihak yang terkait”, ungkapnya.
“Seperti yang dikatakan orang tua saya, dalam hidup itu kita harus selalu berusaha, tidak boleh menyerah dalam kondisi apapun juga. Itulah yang menjadi semangat saya dalam menjalani kehidupan. Saya juga ingin teman-teman peneliti lain merasakan hal yang sama dalam memajukan Indonesia melalui karya-karya inovasi”, harapnya. (BPPT)