
Program Hilirisasi: Ledakan Smelter Tanda Krisis Keselamatan
November 1, 2024
MITI: Tiga Syarat Alihkan Subsidi BBM Menjadi BLT
November 6, 2024MITI Peringatkan: Pengalihan Subsidi BBM ke BLT Rawan Penyimpangan, Pemerintah Diminta Fokus Perbaiki Skema Subsidi yang Ada
Jakarta – Rencana pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menghapus subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan menggantinya dengan skema bantuan langsung tunai (BLT) menuai kritik dari kalangan pakar kebijakan publik dan energi. Salah satunya datang dari Mulyanto, Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) sekaligus anggota Komisi VII DPR RI periode 2019–2024.
Mulyanto menilai skema subsidi BBM yang saat ini berlaku masih relevan dan lebih aman dari sisi pengawasan, asalkan disempurnakan melalui sistem distribusi yang lebih akurat dan berbasis data. Ia mengingatkan bahwa pengalihan subsidi ke bentuk BLT terbukti rentan terhadap penyimpangan, terutama dalam konteks politik dan akurasi data penerima manfaat.
“Saya lebih cenderung mempertahankan skema subsidi BBM yang ada, namun dengan perbaikan menyeluruh pada kriteria dan sistem distribusinya. Pengalihan ke BLT hanya akan memperbesar potensi ketidaktepatan sasaran dan penyalahgunaan,” ujar Mulyanto.
Kerentanan BLT: Data Tidak Akurat dan Risiko Politisasi
Pengalaman pengalihan subsidi BBM ke BLT pada masa sebelumnya menunjukkan bahwa BLT kerap kali tidak diterima oleh pihak yang benar-benar membutuhkan. Kelemahan utama terletak pada akurasi dan validitas data penerima manfaat, serta minimnya sistem kontrol terhadap praktik politisasi bantuan oleh aparat di tingkat daerah maupun pusat.
Mulyanto menambahkan, BLT memiliki daya tarik politis yang tinggi, sehingga rentan disalurkan secara tidak adil menjelang momentum elektoral. Hal ini sangat berbahaya karena mengorbankan tujuan utama dari kebijakan subsidi, yakni membantu kelompok rentan mengakses kebutuhan dasar energi.
“BLT ini rawan digunakan sebagai alat politik, apalagi menjelang pemilu. Skema yang semestinya netral ini bisa jadi kendaraan pencitraan dan manipulasi distribusi bantuan,” tegasnya.
Rekomendasi MITI: Strategi Antisipatif dan Reformasi Sistem Subsidi
MITI merekomendasikan agar pemerintah menghindari pendekatan reaktif terhadap subsidi, dan sebaliknya, membangun sistem distribusi subsidi BBM yang:
- Berbasis Data Terpadu dan Valid
Pemerintah perlu memanfaatkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang diperbaharui secara berkala, dikombinasikan dengan integrasi data kendaraan dan konsumsi energi untuk mengidentifikasi penerima yang benar-benar layak. - Diperkuat oleh Teknologi Digital dan Kartu Identitas Subsidi Khusus
Pendekatan digital seperti Subsidi BBM berbasis QR Code, NFC, atau kartu identitas energi akan membantu menyaring penerima secara lebih presisi, sekaligus mencegah penyelewengan di tingkat pengecer. - Diawasi oleh Lembaga Independen dan Partisipasi Publik
Peran BPK, KPK, dan Ombudsman harus diperluas untuk memantau distribusi subsidi secara transparan. Selain itu, pelibatan LSM dan masyarakat sipil sebagai watchdog akan memperkuat akuntabilitas. - Sinergi Lintas Kementerian
Kementerian Sosial, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan Bappenas perlu membentuk task force khusus untuk mendesain ulang sistem subsidi yang mempertimbangkan aspek energi, kemiskinan, dan fiskal secara terpadu.
Fokus pada Strategi Pengentasan Kemiskinan yang Lebih Holistik
Penghapusan subsidi BBM seharusnya bukan menjadi prioritas kebijakan yang tergesa-gesa. Pemerintah justru perlu menyusun strategi pengentasan kemiskinan yang lebih berbasis pemberdayaan, antara lain:
- Peningkatan akses terhadap energi bersih dan murah untuk rumah tangga miskin.
- Program padat karya berbasis energi terbarukan di daerah tertinggal.
- Subsidi silang dari sektor industri ke rumah tangga miskin yang diatur secara proporsional.
- Penguatan UMKM energi lokal untuk menciptakan distribusi nilai tambah di tingkat desa.
“Tujuan utama dari subsidi adalah memastikan akses dan keterjangkauan energi untuk seluruh masyarakat, terutama kelompok miskin. Jika BLT malah membuat bantuan tidak tepat sasaran, kita harus berani meninjau ulang kebijakan ini,” pungkas Mulyanto.