
100 Hari Pemerintahan Prabowo, Prestasi Datar dan Tantangan Nyata
Januari 27, 2025
Kebijakan IUP untuk Kampus Dinilai Mengancam Independensi dan Tata Kelola Tambang Nasional
Januari 30, 2025Kebijakan Baru yang Menuai Polemik
Pemerintah dan DPR RI resmi membuka peluang bagi organisasi keagamaan serta lembaga pendidikan dan penelitian untuk mendapatkan prioritas dalam perizinan usaha pertambangan (IUP). Langkah ini lahir dari revisi Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Namun, kebijakan tersebut justru menuai kritik keras dari kalangan ilmuwan.
Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI), Dr. Mulyanto, menyebut kebijakan ini bukan solusi, tapi justru potensi bencana baru dalam tata kelola sumber daya alam Indonesia.
“Kalau benar-benar ide ini diimplementasikan, salah-salah bisa hancur ormas keagamaan dan perguruan tinggi kita, karena mereka akan sibuk mengurus tambang ketimbang menjalankan tugas pokoknya: mendidik dan membina masyarakat,” tegas Mulyanto.
Mengaburkan Tugas Mulia Pendidikan dan Agama
Menurut Mulyanto, dengan memberi prioritas kepada ormas dan kampus untuk mengelola tambang, pemerintah seolah-olah ingin lepas tangan dari kewajiban membina dua sektor krusial: pendidikan dan keagamaan.
“Amanat konstitusi adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan menyuruh lembaga pendidikan dan agama cari duit sendiri di sektor pertambangan, yang kita tahu penuh masalah,” ujarnya.
Mulyanto juga mengingatkan bahwa sektor tambang merupakan sektor “kotor” yang penuh dengan persoalan hukum dan tata kelola, mulai dari korupsi, perusakan lingkungan, hingga konflik sosial.
Tambang dan Masalah Sistemik
MITI mencatat bahwa berbagai kasus korupsi besar di sektor tambang telah merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah. Sebut saja:
- Kasus korupsi timah yang menelan kerugian negara Rp300 triliun,
- Tambang emas ilegal oleh WNA China senilai lebih dari Rp1 triliun,
- Tambang nikel ilegal di Blok Mandiodo yang menyebabkan kerugian Rp2,3 triliun.
“Sektor ini sedang ditimpa banyak masalah. Utamanya tambang ilegal dan korupsi yang masif. Kenapa justru lembaga-lembaga yang seharusnya menjaga moral dan nalar publik kita dorong ke sana?” ujar Mulyanto.
Lembaga Advokasi Kehilangan Netralitas
Kekhawatiran lain yang diangkat MITI adalah soal hilangnya fungsi advokasi yang selama ini dijalankan lembaga keagamaan dan kampus terhadap masyarakat terdampak tambang. Dalam banyak kasus, masyarakat sekitar tambang menggantungkan harapan kepada LSM, perguruan tinggi, dan ormas keagamaan untuk membela hak-hak mereka.
“Kalau lembaga-lembaga ini sudah menjadi operator tambang, masyarakat kehilangan tempat mengadu. Ini sangat berbahaya,” jelas Mulyanto.
Perkuat Pengawasan, Bukan Alihkan Tanggung Jawab
Menurut MITI, fokus utama pemerintah seharusnya adalah memperkuat pengawasan terhadap tambang ilegal. Diperlukan sistem pengawasan terpadu dan pembentukan satgas khusus penambangan ilegal, yang bersih dari kepentingan politik dan ekonomi.
“Tambang ilegal seringkali dibekingi oleh aparat kuat. Kalau tidak, mana mungkin bisa beroperasi lama, bahkan menggunakan alat berat dan didirikan tenda-tenda permanen?” kata Mulyanto dengan nada geram.
Menyelesaikan Masalah, Bukan Menambah Masalah
MITI menilai kebijakan pemberian IUP prioritas kepada ormas dan perguruan tinggi bukan solusi atas masalah pendanaan atau tata kelola tambang. Sebaliknya, kebijakan ini bisa menciptakan krisis kepercayaan dan moral di tengah masyarakat, serta berisiko menjerumuskan lembaga-lembaga strategis ke pusaran konflik kepentingan.
“Ini seperti menyelesaikan satu masalah dengan menambah masalah baru yang lebih besar,” pungkas Mulyanto.
Antara Etika Publik dan Kepentingan Ekonomi
Di tengah meningkatnya tantangan dalam pengelolaan sumber daya alam, pemerintah dituntut untuk tetap menjaga integritas lembaga pendidikan dan keagamaan sebagai pilar moral dan intelektual bangsa. Alih-alih menjadikan mereka pelaku industri tambang, negara seharusnya memperkuat peran mereka dalam membina masyarakat dan mengawasi jalannya pembangunan.
Kebijakan yang baik bukan sekadar soal distribusi izin atau peluang ekonomi, tetapi tentang menjaga keseimbangan antara kepentingan negara, masyarakat, dan masa depan generasi bangsa.