
Pagar Laut Bambu di Tangerang Dinilai Tidak Efektif Hadapi Tsunami
Januari 14, 2025
100 Hari Pemerintahan Prabowo, Prestasi Datar dan Tantangan Nyata
Januari 27, 2025Putusan bebas terhadap terdakwa WNA dalam kasus tambang emas ilegal seberat 774 kg menuai kritik tajam dari kalangan ilmuwan. Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) menilai langkah ini mengancam kredibilitas hukum dan kedaulatan negara.
Vonis Bebas yang Memicu Pertanyaan
Keputusan Pengadilan Tinggi Pontianak membebaskan Yu Hao, warga negara asing (WNA) yang sebelumnya divonis bersalah dalam kasus penambangan emas ilegal seberat 774 kilogram, menuai kontroversi. Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) menyebut putusan ini sangat janggal dan memerlukan perhatian serius dari lembaga pengawasan yudisial.
“Putusan ini sungguh aneh. Fakta lapangan dan barang bukti sudah jelas menunjukkan kegiatan penambangan ilegal yang merugikan negara. Tapi malah dibebaskan di tingkat banding,” ujar Mulyanto, Pembina MITI sekaligus mantan Anggota Komisi VII DPR RI yang membidangi energi dan sumber daya alam.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri memvonis Yu Hao dengan hukuman 3 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp30 miliar. Namun, setelah mengajukan banding, terdakwa justru dinyatakan bebas.
“Kita jadi bingung, di mana letak kekeliruannya? Apakah pada proses pembuktian, atau barang buktinya yang diabaikan? Ini menyangkut keadilan dan kedaulatan negara,” tambah Mulyanto.
Dugaan Pelanggaran Berat dan Fakta Lapangan
MITI menyoroti fakta-fakta lapangan yang menguatkan dugaan bahwa penambangan emas ilegal ini bukan kasus tunggal atau kecil. Aktivitas ilegal tersebut melibatkan lebih dari 80 orang WNA, sebagian besar bahkan hanya bermodalkan visa turis. Proses penambangan berlangsung dalam waktu yang lama dan menggunakan alat berat, menunjukkan adanya operasi terstruktur dan terencana.
“Kasus ini sudah menjadi fakta umum di masyarakat setempat. Aktivitas penambangan ilegalnya jelas-jelas merusak lingkungan dan mengeruk sumber daya alam kita secara terang-terangan,” kata Mulyanto.
Kerugian negara yang ditaksir akibat aktivitas ini mencapai Rp1.020 triliun, angka yang sangat signifikan dan seharusnya tidak bisa diabaikan dalam proses penegakan hukum.
Seruan untuk Komisi Yudisial dan Pemerintah
MITI secara tegas meminta Komisi Yudisial (KY) untuk segera memeriksa profesionalitas hakim yang membebaskan Yu Hao. Menurut MITI, pengawasan terhadap putusan-putusan seperti ini penting untuk menjaga marwah hukum dan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan Indonesia.
“Kami mendesak Komisi Yudisial bertindak. Jangan sampai pengadilan menjadi tempat melanggengkan ketidakadilan, apalagi yang berkaitan dengan penjarahan sumber kekayaan alam oleh pihak asing,” tegas Mulyanto.
MITI juga menyerukan agar Pemerintah menaruh perhatian lebih besar terhadap maraknya penambangan ilegal, khususnya yang dilakukan oleh WNA. Kejadian ini dianggap sebagai ancaman nyata terhadap kedaulatan negara dan keberlanjutan lingkungan hidup.
“Dimana kedaulatan negara ini, jika kita tidak mampu mempertahankan sumber kekayaan alam yang semakin lama semakin langka? Ini sangat memprihatinkan,” tutup Mulyanto.
Hukum, Lingkungan, dan Kedaulatan Tak Bisa Dinegosiasikan
Kasus pembebasan terdakwa WNA dalam penambangan emas ilegal ini bukan sekadar polemik hukum, tapi juga soal integritas negara dalam melindungi sumber dayanya. Saat eksploitasi berlangsung tanpa izin, dengan pelaku asing dan kerugian yang masif, publik layak bertanya: siapa yang sedang dilindungi oleh sistem peradilan kita?
Kini, harapan ada pada Komisi Yudisial dan Pemerintah untuk bertindak cepat dan tegas, agar kasus serupa tak mencoreng wajah hukum dan memperlemah upaya konservasi sumber daya alam Indonesia.