
Kebijakan IUP untuk Kampus Dinilai Mengancam Independensi dan Tata Kelola Tambang Nasional
Januari 30, 2025
JETP dan Target NZE 2060: Indonesia Perlu Berhitung Ulang di Tengah Janji yang Tak Pasti
Februari 3, 2025Minyak mentah turun, kebijakan subsidi BBM stagnan, dan belum ada terobosan besar dari Menteri ESDM
Seratus hari pertama Pemerintahan Prabowo Subianto menjadi momen penting untuk mengukur arah kebijakan energi nasional. Namun, evaluasi dari kalangan ilmuwan menunjukkan hasil yang belum menggembirakan.
Menurut Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI), Dr. Mulyanto, sejumlah pekerjaan rumah penting sektor energi seperti lifting minyak, distribusi subsidi BBM, dan stabilitas gas LPG belum menunjukkan perbaikan berarti.
“Sejauh ini kita belum melihat ada kebijakan luar biasa yang dibuat Menteri ESDM yang bisa membuat tata kelola energi nasional lebih baik. Semua berjalan business as usual. Sekadar menjalani rutinitas semata,” ujar Mulyanto.
Target Jauh, Subsidi Melenceng
Mulyanto mencatat bahwa lifting minyak—volume produksi minyak yang siap jual—terus mengalami penurunan, meski target tahunannya telah diturunkan. Di sisi lain, distribusi subsidi BBM dinilai masih tidak tepat sasaran. Mobil mewah, kendaraan tambang, hingga perkebunan besar masih teridentifikasi sebagai konsumen BBM bersubsidi.
“Isu distribusi BBM subsidi tepat sasaran ini sebenarnya sudah lebih dari empat tahun dibicarakan. Tapi sampai hari ini, sudah lewat dari 100 hari Pemerintahan Presiden Prabowo, belum ada kemajuan berarti,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa persoalan ini bukan sekadar soal penghematan anggaran, tetapi soal keadilan sosial. BBM bersubsidi seharusnya ditujukan untuk masyarakat kecil, bukan dinikmati oleh kelompok mampu.
Blunder Polemik Ojek Online
Salah satu kebijakan awal Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, juga menuai kritik keras. Wacana menghapus subsidi BBM untuk pengemudi ojek online dianggap sebagai langkah keliru.
“Kebijakan itu dianggap akan memberatkan beban hidup yang sudah semakin sulit,” kata Mulyanto.
Menurutnya, ojek online merupakan bagian dari ekonomi rakyat yang seharusnya justru dilindungi oleh kebijakan energi, bukan dibebani.
Harga Minyak Turun, Peluang Reformasi Energi Terbuka
Dalam konteks global, harga minyak mentah saat ini sebenarnya relatif stabil dan bahkan cenderung turun. Data per 31 Januari 2025 menunjukkan harga minyak WTI berada di angka USD 73 per barel—di bawah asumsi makro APBN 2025 yang sebesar USD 82 per barel.
“Ketika harga minyak mentah dunia tinggi, urgensi untuk reformasi kebijakan subsidi meningkat. Namun, meski sekarang harganya lebih rendah, kita justru belum melihat langkah konkret pemerintah dalam memperbaiki sistem distribusi,” ungkap Mulyanto.
Pertalite Butuh Payung Hukum
Salah satu kemajuan yang diakui adalah digitalisasi distribusi subsidi melalui program Subsidi Tepat Pertamina, yang sudah mulai diterapkan untuk solar dan Pertalite. Namun sayangnya, upaya ini belum didukung regulasi yang memadai.
“Kreativitas Pertamina dengan digitalisasi subsidi tepat untuk Pertalite sebenarnya sudah lumayan menyelesaikan masalah meski belum tuntas. Tapi perlu regulasi agar punya landasan hukum yang kokoh,” lanjut Mulyanto.
Ia mengusulkan kriteria sederhana untuk menyaring pengguna BBM bersubsidi. Misalnya, mobil dengan kapasitas mesin di atas 1.500 cc tidak boleh menggunakan Pertalite, kecuali untuk angkutan umum, kendaraan distribusi sembako, dan motor gede (moge).
Tidak Perlu BLT, Cukup Regulasi yang Adil
Mulyanto juga menolak rencana pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai kompensasi dari reformasi subsidi BBM. Menurutnya, jika regulasi distribusi dibuat adil dan jelas, maka BLT tidak diperlukan.
“Kebijakan dengan kriteria sederhana seperti itu tidak berdampak pada masyarakat umum yang tidak mampu. Bahkan pengemudi ojek online pun tetap berhak atas BBM bersubsidi,” ujarnya.
Saatnya Berani Ambil Keputusan Besar
100 hari pertama pemerintahan adalah jendela awal untuk menunjukkan arah dan keberanian dalam menata ulang kebijakan energi nasional. Sayangnya, menurut MITI, belum ada terobosan besar yang muncul dari Kementerian ESDM.
Ke depan, publik menantikan langkah nyata—bukan sekadar janji atau rutinitas lama—yang bisa membawa tata kelola energi Indonesia ke arah yang lebih adil, efisien, dan berkelanjutan.