
MITI Desak Pemerintah Uji Sampel Pertamax
Februari 27, 2025
MITI: Jauhkan Pertamina dari Kepentingan Politik
Maret 3, 2025Mafia migas kembali jadi sorotan. Dugaan mark-up dan praktik oplosan BBM mengindikasikan penyakit lama yang belum sembuh.
Kasus dugaan korupsi besar-besaran di tubuh PT Pertamina Patra Niaga kembali membuka luka lama dalam industri energi nasional. Bagi banyak pihak, ini bukan sekadar skandal finansial, tetapi juga sinyal bahwa mafia migas masih bercokol dan berkuasa dalam rantai pasok energi Indonesia.
Mulyanto, Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) sekaligus mantan anggota Komisi VII DPR RI, menyebut bahwa praktik mark-up dan pengoplosan BBM jenis Pertalite menjadi Pertamax merupakan indikasi kuat bahwa sistem migas nasional sedang dibajak oleh kepentingan segelintir elit.
“Sekarang adalah momentum yang tepat bagi Pemerintah untuk membongkar tuntas sampai ke akar-akarnya mafia migas di negeri ini,” tegas Mulyanto.
“Mumpung, temuan-temuan kejaksaan cukup menggigit dan menyasar pada hal-hal yang selama ini menjadi misteri.”
Dirut Anak Usaha Pertamina Jadi Tersangka, Tapi Bukan Satu-satunya
Salah satu temuan paling mencolok dari penyelidikan kejaksaan adalah penetapan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga sebagai tersangka. Ironisnya, jabatan strategis ini baru diemban sejak Juli 2023, memunculkan dugaan bahwa kasus ini punya akar jauh lebih dalam dan lama.
“Wajar kalau ada dugaan bahwa tersangka sementara ini hanyalah para aktor lapangan,” kata Mulyanto.
“Artinya ada aktor intelektual lain di balik kasus ini beserta para bekingnya.”
MITI mengingatkan bahwa praktik pengondisian kilang—dengan sengaja menurunkan readiness atau kapasitas produksi dalam negeri—merupakan manuver terstruktur untuk menciptakan justifikasi terhadap impor minyak mentah.
“Para tersangka menolak minyak mentah produksi domestik dengan alasan tidak memenuhi spesifikasi harga dan kualitas,” ujar Mulyanto.
“Akibatnya, minyak bumi produksi dalam negeri tidak terserap dan celah untuk impor dibuka lebar. Ini kan jahat.”
Mafia dari Hulu hingga Hilir: Sistemik dan Terorganisir
MITI menyoroti bahwa aktor-aktor yang terlibat bukan hanya dari satu bagian rantai industri migas. Skema korupsi ini melibatkan berbagai entitas, mulai dari PT Kilang Pertamina Internasional di sektor hulu, PT Pertamina Patra Niaga di sektor hilir, hingga PT Pertamina International Shipping di bagian transportasi.
“Ada broker, ada pejabat, ada direksi BUMN. Ini sistemik,” jelas Mulyanto.
Temuan ini semakin memperkuat urgensi audit total dan reformasi menyeluruh terhadap tata kelola energi nasional. Pemerintah diminta untuk tidak ragu-ragu dalam memeriksa semua pihak, termasuk pejabat tinggi negara, politisi, dan aparat yang menjadi beking mafia migas.
Kerugian Negara Fantastis, Beban Rakyat Semakin Berat
MITI mengungkap bahwa kerugian negara akibat kasus ini mencapai angka yang mencengangkan: Rp 193,7 triliun. Angka ini mencakup kerugian dari kompensasi BBM sebesar Rp 126 triliun dan subsidi BBM sebesar Rp 21 triliun sepanjang tahun 2018–2023.
“Korupsi ini bukan hanya merugikan negara, tapi juga membebani rakyat dengan harga BBM yang mahal dan kualitas produk yang meragukan,” ujar Mulyanto.
Skema mark-up harga BBM impor berdampak langsung pada kenaikan Harga Indeks Pasar (HIP) yang menjadi acuan dalam penetapan harga jual BBM. Dampaknya, beban APBN pun membengkak, sementara masyarakat harus menanggung harga BBM yang lebih tinggi dari seharusnya.
Bongkar Mafia Migas Sekarang atau Tidak Pernah
MITI menyerukan agar pemerintah menjadikan momentum ini sebagai titik balik dalam pembenahan sektor energi nasional. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci agar mafia migas benar-benar bisa diberantas, bukan sekadar dikorbankan secara simbolik.
Kasus ini bukan sekadar soal angka, tapi soal keadilan energi—tentang siapa yang menikmati keuntungan, dan siapa yang harus membayar harganya.