
MITI Soroti 100 Hari Kinerja Sektor Energi Pemerintahan Prabowo: Masih Jalan di Tempat?
Januari 31, 2025
Polemik Gas Melon 3 KG, Pemerintah Perlu Terapkan Strategi Bertahap
Februari 4, 2025MITI: Jangan Sekadar Ikut Tren, Prioritaskan Kepentingan Nasional
Di tengah gembar-gembor transisi energi hijau dan komitmen menuju Net Zero Emission (NZE) tahun 2060, Indonesia dihadapkan pada realitas pahit: janji pendanaan dari negara maju lewat skema Just Energy Transition Partnership (JETP) belum juga terealisasi. Bahkan, sinyal terbaru dari Amerika Serikat makin membuat langkah ini terasa berat sebelah.
Presiden Donald Trump secara resmi menarik AS dari Paris Agreement setelah kembali menjabat Januari 2025. Langkah ini, menurut Mulyanto—Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI)—merupakan alarm penting bagi Indonesia untuk mengevaluasi ulang keterlibatannya dalam program transisi energi global seperti JETP.
“Kita harus fokus pada kepentingan nasional kita (national interest),” tegas Mulyanto
PLTU Pensiun Dini, Tapi Modal Sendiri?
Salah satu komitmen utama dalam JETP adalah menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) lebih awal—sebuah langkah ambisius yang menuntut biaya sangat besar. Namun hingga kini, pendanaan murah yang dijanjikan belum juga mengalir. Yang ada justru tawaran pinjaman berbunga komersial, yang jelas tidak sejalan dengan semangat just transition.
“Memaksakan diri melakukan program pensiun dini PLTU yang jelas-jelas tidak menguntungkan secara ekonomis sangat berisiko,” kata Mulyanto.
Ia juga mengingatkan bahwa Indonesia tidak boleh dikendalikan oleh agenda negara lain, apalagi dalam situasi fiskal dalam negeri yang terbatas.
“Kita tidak ingin demi program NZE, kita justru memilih pembangkit listrik mahal atau menjadi lebih tergantung pada teknologi impor,” imbuhnya.
Kalkulasi Ulang: Antara Ambisi dan Realita
Program NZE dan JETP memang terlihat menjanjikan dari luar. Namun, bila tak disertai landasan ekonomi dan kebijakan yang kuat, bisa jadi justru akan menjerumuskan Indonesia pada beban baru. Apalagi, beberapa negara maju pun mulai menunjukkan sikap tidak konsisten.
“Uni Eropa saja maju-mundur dalam implementasi NZE pasca perang Rusia–Ukraina. Sekarang AS malah menarik diri dari Perjanjian Paris,” ujar Mulyanto.
Menurutnya, ini adalah saat yang tepat bagi Indonesia untuk lebih realistis, tidak sekadar gagah-gagahan dalam agenda transisi energi.
“Dalam implementasi program NZE ini, berbagai faktor harus dipertimbangkan secara seksama—jangan sekadar ikut-ikutan. Selain pertimbangan lingkungan, yang tidak kalah penting adalah ekonomi domestik dan ketahanan energi,” jelasnya.
Skema Liberal yang Kontra Konstitusi?
Lebih lanjut, Mulyanto juga mengkritik kebijakan liberalisasi sektor ketenagalistrikan yang belakangan mulai diadopsi, termasuk skema power wheeling—yaitu pemberian akses jaringan listrik kepada pihak swasta.
“Apalagi secara gagah-gagahan kita meliberalisasi sektor kelistrikan nasional, dengan mengadopsi skema power wheeling yang melanggar konstitusi,” tegasnya.
Kebijakan ini, menurutnya, justru dapat memperlemah posisi strategis PLN dan menciptakan ketergantungan baru yang tidak sehat.
Janji USD 20 Miliar: Antara Harapan dan Ketidakpastian
Pada awalnya, JETP dijanjikan akan menjadi solusi transisi energi bagi negara berkembang seperti Indonesia. Nilainya tidak main-main: USD 20 miliar atau setara Rp 300 triliun, sebagian besar berupa pendanaan murah.
Namun, pengakuan dari pihak PT PLN (Persero) justru menunjukkan sebaliknya. Hingga kini, belum ada satu rupiah pun dana murah yang masuk dari JETP untuk pengembangan energi hijau. Dan dengan mundurnya AS dari Paris Agreement, harapan akan realisasi dana tersebut semakin buram.
Jalan Panjang Menuju Transisi Energi yang Berkeadilan
Transisi energi memang penting, tetapi jangan sampai Indonesia terjebak dalam skema global yang lebih menguntungkan negara donor ketimbang penerima. Kemandirian energi, keberlanjutan fiskal, dan keadilan sosial harus tetap menjadi prioritas utama dalam menyusun peta jalan menuju NZE.
Keputusan Indonesia untuk tetap atau meninjau ulang keikutsertaannya dalam JETP harus berdasarkan kalkulasi strategis—bukan tekanan geopolitik, apalagi tren sesaat.