
MITI Sebarluaskan Iptek Indonesia Lewat Iptek Voice
August 12, 2012
MITI Klaster Mahasiswa Menginisiasi Bangkitnya Lembaga Mahasiswa Berbasis Kompetensi Melalui Training Kelembagaan
October 18, 2012SERPONG— Pemerintah harus lebih memberi perhatian pada isu-isu perburuhan atau tenaga kerja mengingat persoalan ini mampu menurunkan peringkat Indonesia dalam Global Competitiveness Index (GCI) atau indeks sebuah negara dalam kompetisi dunia. Pada GCI 2012 yang dirilis September lalu oleh World Economic Forum (WEF) dan memuat peringkat daya saing global 144 negara tersebut, peringkat Indonesia menurun 4 tingkat dari 46 tahun lalu menjadi 50 pada tahun ini. Penurunan terbesar terjadi pada pilar labour market efficiency (efisiensi pasar tenaga kerja), dari 94 pada 2011 menjadi 120 pada tahun ini.
“Ini memberi petunjuk persoalan buruh menjadi krusial dalam pandangan masyarakat ekonomi dunia sehingga harus menjadi perhatian pemerintah dan dunia usaha,” ujar Dr. Ir. Edi Hartulistiyoso, MSc, peneliti dari Institut Pertanian Bogor saat menjadi nara sumber pada diskusi bulanan yang digelar Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI), Sabtu (6/10) di Kantor MITI, Serpong, Banten.
Menurut mantan Atase Pertanian untuk Masyarakat Uni Eropa tersebut, Indonesia mendapat nilai buruk untuk tiga indikator dari pilar labour market efficiency, yaitu flexibility of wage determination (keleluasaan dalam pembatasan upah); redundancy costs, weeks of salary (biaya tambahan pada upah mingguan); dan women in labor force, ratio to men (rasio buruh wanita dari buruh pria).
“Sebenarnya secara keseluruhan, dari 12 pilar yang jadi acuan ada penurunan seperti pilar kelembagaan, infrastruktur, kesehatan dan pendidikan dasar. Namun, penurunan terbesar terjadi pada pilar tenaga kerja. Ini harus jadi perhatian kita bersama,” tandasnya.
Dalam pandangan Edi, problem perburuhan yang mencuat akhir-akhir ini perlu disikapi secara arif oleh pemerintah. Isu penghapusan tenaga kerja lepas atau outsourcing yang menjadi tuntutan utama pada demo buruh beberapa waktu lalu setidaknya memberi petunjuk kebijakan yang dibuat masih belum memiliki pijakan kuat dalam menyelesaikan persoalan perburuhan.
“Kalau isu tenaga kerja lepas ini tak segera diselesaikan, bukan tidak mungkin akan merusak iklim investasi dan secara berkelanjutan akan memberi dampak sosial politik yang bisa mengganggu stabilitas pemerintahan,” tandas Edi seraya menunjuk demo sehari yang dilakukan buruh beberapa waktu lalu, mampu menimbulkan kerugian ratusan milyar rupiah.
Menurutnya, pemerintah harus segera mencari solusi komprehensif dalam persoalan tenaga kerja. “Kalau solusinya parsial, jangan pernah berharap persoalan buruh akan bisa tuntas. Apalagi kalau kemudian otomatisasi yang diinginkan pengusaha sebagai ganti outsourcing bakal mendapat respon negatif kalangan buruh.”
Oleh karena itu, Edi mengusulkan solusi penciptaan lapangan kerja di sektor usaha kecil dan menengah (UKM) bisa menjadi katup pengaman dalam menyelesaikan masalah tenaga kerjas, termasuk outsourcing. Langkahnya, lanjut Edi, bisa saja pemerintah bersama pengusaha bersama-sama memikirkan adanya penciptaan lapangan kerja melalui pengembangan usaha kecil dan menengah, baik yang berbasis industri yang dijalankan pengusaha maupun industri kreatif hasil inisiasi mandiri, yang secara nyata mampu menampung pertambahan tenaga kerja dalam jumlah besar.
“Di Eropa, pemerintah dan para pengusahanya berhasil menciptakan UKM yang mendukung industri. Kalau ada niatan dari pengusaha dan kemauan keras pemerintah, saya yakin langkah seperti itu akan mampu menyelesaikan persoalan tenaga kerja. Buktinya sudah ada dan berhasil dilakukan, apalagi kalau upaya ini berlangsung dalam skala besar dan panjang maka mereka akan mampu bertahan bila terjadi krisis ekonomi dunia,” papar Edi.
Selain itu, bila kemampuan berkembang sektor UKM ini semakin baik, secara perlahan tapi pasti akan menumbuhkan kelas menengah yang semakin mengokohkan basis ekonomi bangsa ini. “Bagaimana pun juga, kita harus berupaya agar kelas menengah di negara ini semakin besar sehingga akan mampu mendorong roda ekonomi dan demokrasi ke arah yang lebih baik,” pungkas Edi. (Humas MITI)
—–
Diskusi rutin MITI diselenggarakan dalam rangka merespon isu-isu teknologi terbaru, terutama menyangkut kebijakan pemerintah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai salah satu LSM berbasis ilmuwan dan teknolog, MITI berupaya memberikan sumbangsihnya dalam pembangunan iptek di tanah air. Silakan kunjungi website kami www.miti.or.id atau bila ingin mendapat undangan diskusi rutin bisa menghubungi Riska Ayu Purnamasari, Staf Bagian Kajian dan Kebijakan MITI di 081808020127.