
SDM Riset Lemah, Proyek Strategis Nasional Terancam
Maret 14, 2025
Penghapusan Kuota Impor Ancaman Swasembada Daging
April 10, 2025Kebijakan tarif timbal balik Amerika Serikat terhadap Indonesia tak bisa dianggap enteng. Ancaman terhadap ekspor baja dan aluminium bisa memukul industri dalam negeri, bahkan mengganggu stabilitas ekonomi nasional.
Tarif 32% dari AS Bukan Sekadar Angka
Pemerintah Amerika Serikat berencana menerapkan kebijakan reciprocal tariff alias tarif timbal balik hingga 32% terhadap sejumlah produk ekspor dari negara-negara mitra, termasuk Indonesia. Bagi sebagian orang, ini mungkin terdengar seperti urusan antarnegara yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Namun, bagi pelaku industri dan perekonomian nasional, ini adalah peringatan dini atas potensi gejolak yang serius.
Menurut Budi Heru Santoso, peneliti dari Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI), langkah AS ini dapat memukul daya saing ekspor Indonesia, terutama di sektor baja dan aluminium.
“Jika Indonesia termasuk dalam daftar negara yang dikenakan tarif 32%, produk baja kita akan kehilangan daya saing di pasar Amerika Serikat,” jelas Budi.
Walaupun Amerika bukan pasar utama bagi PT Inalum—salah satu produsen utama aluminium nasional—kebijakan ini tetap membawa dampak sistemik. Budi memperingatkan bahwa ekspor yang terhambat bisa memperketat akses pasar dan memicu reaksi berantai di sektor industri.
Over-Supply dan Dumping dari China
Budi juga menyoroti potensi dampak lanjutan dari kebijakan tersebut. Jika China, yang terkena tarif lebih tinggi (34%) dari AS, mulai mengalihkan ekspornya ke negara-negara lain termasuk Indonesia, maka pasar domestik bisa dibanjiri produk baja murah.
“Over-supply akibat ekspor China berpotensi mendorong praktik dumping. Ini akan menekan harga di pasar lokal dan melemahkan daya saing industri dalam negeri,” ungkap peneliti yang juga tergabung di BRIN ini.
Industri strategis seperti Krakatau Steel dan Inalum pun berada di ujung tanduk. Harga baja dan aluminium impor yang lebih murah bisa membuat produksi nasional tak kompetitif, memicu penurunan output, dan bahkan berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dampak Ekonomi Lebih Luas
Ancaman tarif tinggi bukan hanya urusan dagang. Ketika ekspor melemah dan neraca perdagangan tertekan, dampaknya bisa menjalar ke sektor keuangan.
“Jika ekspor baja dan aluminium Indonesia tertekan dan defisit perdagangan meningkat, tekanan terhadap nilai tukar Rupiah terhadap USD bisa semakin besar,” terang Budi.
Tak hanya itu, ketidakpastian akibat kebijakan AS ini juga bisa menggerus kepercayaan investor asing, terutama di sektor manufaktur dan industri berbasis ekspor.
Perketat Impor, Perluas Pasar
Menanggapi situasi ini, MITI mendorong pemerintah Indonesia untuk segera mengambil langkah strategis. Salah satunya adalah dengan memperketat pengawasan impor baja dan aluminium.
“Pemerintah perlu merevisi Permendag No. 8 Tahun 2024 agar lebih responsif dalam mencegah praktik dumping yang merugikan industri nasional,” ujar Budi.
Langkah kedua yang dianggap penting adalah diversifikasi pasar ekspor. Ketergantungan pada pasar AS perlu dikurangi dengan membuka lebih banyak akses ke kawasan lain seperti Uni Eropa, Timur Tengah, dan ASEAN.
Jangan Tunggu Gelombang Besar Datang
Kebijakan tarif timbal balik dari AS bisa menjadi “tsunami kecil” yang membawa efek besar jika tidak segera diantisipasi. Pemerintah Indonesia perlu mengedepankan diplomasi perdagangan yang proaktif dan perlindungan industri strategis yang adaptif.
Langkah-langkah konkret seperti penguatan kebijakan perdagangan, peninjauan regulasi impor, serta pembukaan pasar baru akan menjadi fondasi penting agar Indonesia tetap kompetitif dalam lanskap ekonomi global yang semakin kompleks.