MITI : Pembangunan Karakter SDM IPTEK Indonesia, Modal Utama Berkiprah di Tanah Air
October 24, 2013
Peluncuran Program Galeri Inovasi Teknologi (GIT) dan Business Technology Incubation Center (BTIC)
December 23, 2013Menakar Penguasaan Asing dalam Pengelolaan Migas Indonesia
Sumber ilustrasi: gettyimages.com
Tangerang, MITI-Sektor Minyak dan Gas (Migas) adalah sumber pendapatan terbesar untuk negara setelah pajak. Saat ini, pengelolaan sektor migas, khususnya di sisi hulu, sebagian besar diserahkan pada kontraktor asing. Eksplorasi dan eksploitasi migas memang membutuhkan sumberdaya yang tidak sedikit, baik infrastruktur, modal, teknologi dan sumber daya manusia yang professional. Ketidakmampuan negara dalam menyediakan sumberdaya tersebutlah yang akhirnya membuka kesempatan pada kontraktor baik swasta nasional maupun asing untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi migas Indonesia.
Di sisi lain, sejumlah kalangan menilai bahwa menyerahkan pengelolaan migas pada asing sama saja menggadaikan kedaulatan Indonesia. Sebab dengan jangka waktu kontrak yang lama, sumber daya alam yang terkandung akan habis untuk memenuhi kebutuhan asing, sebelum negara dapat menikmati sumber daya energi tersebut sebagai modal untuk pembangunan nasional. Demikian juga keuntungan Negara dalam bentuk bagi hasil, adalah tidak seberapa dibandingkan dengan porsi yang diambil asing apalagi jika ditambahkan cost recovery yang harus dikeluarkan untuk mengganti biaya yang sudah dikeluarkan oleh kontraktor.
Berdasarkan latar belakang tersebut, diskusi ini ingin membahas mengenai pengelolaan migas Indonesia oleh asing dan menjawab sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengannya. Sebagai hasil dari diskusi ini ingin memberikan sumbangsih saran terkait dengan perbaikan mekanisme pengelolaan migas di Indonesia yang lebih baik ke depannya. Ada dua pembicara yang hadir sebagai narasumber dalam diskusi ini, yaitu Dr. Asep Handaya selaku dosen Teknik Kimia Universitas Indonesia dan Dr. Rohadi Awaludin dari BPPT. Diskusi yang berlangsung pada tanggal 30 November 2013 ini bertempat di kantor MITI Alam Sutera, Tangerang.
Industri Migas, High Risk High Gain
Menurut penuturan Dr. Asep Handaya, industri migas di Indonesia sudah berlangsung lama sejak penjajahan Belanda. Oleh sebab itu, perusahaan negara yang berperan sebagai pengelola pun banyak yang diwariskan dari Belanda. Hanya sedikit yang benar-benar dikelola oleh anak negeri. Medco adalah salah satu contohnya.
Sebagai industri yang menjanjikan keuntungan besar, migas juga mengandung resiko tinggi. Imvestasi baik waktu maupun biaya yang diperlukan tidaklah sedikit. Mulai dari tahap eksplorasi hingga eksploitasi bisa memakan waktu hingga 10 tahun. Di tahap eksplorasi, para kontraktor akan melakukan pengeboran untuk melihat ada tidaknya minyak atau gas di dalamnya. Tahap eksplorasi sendiri membutuhkan waktu 3-5 tahun dengan biaya hingga 150 juta dollar untuk satu sumur. Waktu dan biaya tersebut dibutuhkan untuk melakukan pengeboran di beberapa titik. Seperti pengalaman beberapa tahun lalu, yaitu mengebor satu sumur di Selat Sulawesi. Ketika investasi waktu dan biaya yang sudah terlanjur dikeluarkan besar, kemungkinan untuk gagal pun besar. Tidak jarang kontraktor yang pulang tanpa membawa hasil dalam tahap eksplorasi ini. Inilah yang disebut dengan resiko tinggi sebagai karakteristik bisnis migas.
Atas dasar rasionalisasi tersebut, menurut Dr. Asep Handaya pemerintah lebih memilih untuk mengundang investor baik asing maupun lokal untuk mengelola migas. Pemerintah tidak ingin mengeluarkan investasi pada bisnis yang rentan. APBN diarahkan untuk pembiayaan pada sektor yang tidak beresiko tinggi. Walaupun sebenarnya dari sisi teknologi, negara sudah mampu untuk melakukan eksplorasi dan eksplotasi migas. Pengeboran misalnya, apakah vertical atau horizontal drilling sudah mampu diterapkan. Peralatan bisa sewa, kecuali untuk vertical drilling Indonesia sudah punya. Tidak mengherankan jika akhirnya kontraktor asing banyak yang berinvestasi di Indonesia karena secara teknologi dan modal mampu. Diagram di bawah ini adalah daftar kontraktor yang menguasai sektor migas Indonesia.
Sumber : Sumber : PricewaterhouseCooper (2012) dalam Kumalasari (2013)
Pengelolaan migas Indonesia ini diatur dalam UU No 2 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pertamina dan BKKA merupakan regulator sekaligus operator dalam industri migas tanah air sebelum diterbitkan UU No 2 Tahun 2001 tentang Migas tersebut. Namun peran Pertamina sekarang digantikan oleh SKK Migas setelah adanya judicial review ttg UU Migas tersebut. Praktis, kedudukan Pertamina sama dengan para kontraktor asing maupun lokal yang akan atau sedang berinvestasi di sektor migas Indonesia. Dalam pengelolaan migas, pemerintah Indonesia menerapkan Kontrak Bagi Hasil atau Production Sharing Contract (PSC) yang juga diatur dalam UU No 2 Tahun 2001 tentang Migas.
Semangat yang Hilang dalam PSC
Kontrak bagi hasil atau yang lebih dikenal dengan istilah PSC ini merupakan produk asli Indonesia. PSC diibaratkan seperti sewa lahan antara pemilik lahan dengan petani penggarap. Jadi, bagi hasilnya adalah berupa produk, bukan uang. Hal ini seperti yang dituturkan oleh Dr. Rohadi Awaludin. Konsekuensinya, minyak bumi dan gas bukan hanya dimiliki oleh negara tapi juga kontraktor. Dalam PSC ini, kontraktor menanggung seluruh resiko selama pengelolaan. Selain itu, seluruh fasilitas yang dibangun oleh kontraktor akan menjadi milik negara. Negara pun memiliki instrument pengendali pengelolaan berupa Plan of Development (PoD), Work Program and Budget (WP&B) dan Authorization for Expenditure (AFE). Untuk mekanisme bagi hasil dilakukan setelah dikurangi semua biaya pengeluaran (cost recovery).
Sejarah PSC dimulai ketika ada kesadaran bahwa Indonesia merupakan negara yang punya lahan minyak dan gas tapi tidak tahu bagaimana cara mengolahnya. Maka disepakati untuk mengundang pihak lain, namun didampingi. Semangat awal dari desain PSC ini adalah kemandirian dan penguasaan teknologi. Kontrak bagi hasil atau PSC dibatasi waktu selama kurang lebih 30 tahun. Dalam pelaksanaan pengelolaan migas mulai dari tahap eksplorasi hingga eksploitasi, harus benar-benar didampingi oleh pemerintah. Di awal pembentukannya dahulu, Pertamina adalah wakil pemerintah yang ditunjuk untuk melaksanakan peran tersebut.
Pengawasan dan pendampingan yang dilakukan oleh Pertamina cukup ketat, karena nanti semua uang akan diganti oleh negara, maka pengeluarannya harus benar. Misalnya harus membuat PoD terlebih dahulu, rencana kerja dan anggaran tahunan, proses tender semua harus dikerjakan bersama-sama antara pihak asing dengan pertamina. Tujuannya agar pertamina bisa belajar bagaimana mengelola migas. Karena seharusnya setelah 30 tahun bekerja sama, pertamina sudah bisa melanjutkan. Jadi kontrak tidak perlu diperpanjang.
Sayangnya, hingga saat ini semangat kemandirian dan penguasaan teknologi tersebut belum terwujud. Peran Pertamina sebagai regulator dan operator yang mengawasi jalannya kontrak asing telah digantikan oleh BP Migas yang tidak punya perangkat bisnis dan tidak punya kapasitas dalam mengakuisisi teknologinya, termasuk dalam melakukan evaluasi. BP MIgas kemudian menggandeng atau melakukan outsourcing pihak ketiga dalam hal ini Universitas. Karena dikerjakan oleh beberapa lembaga outsource, maka evaluasi yang dilakukan tida komprehensif, hanya sepotong-sepotong.
Saat itu Pertamina dianggap sebagai sarang korupsi karena perannya yang ganda, sebagai regulator dan operator. Maka peran Pertamina pun dipangkas. Selain itu, dari sisi Pertamina menganggap bahwa kebijakan untuk menyerahkan semua hasil pendapatan minyak dan gas pada negara telah membuat Pertamina merugi. Pasalnya, jika membutuhkan suatu pembiayaan Pertamina harus mengajukan anggaran terlebih dahulu. Namun saat ini, Pertamina sudah mulai diberikan kepercayaan kembali. Karena sebenarnya secara kemampuan baik teknologi maupun sumberdaya manusia, Pertamina mampu mengelola migas tanah air.
Keterlibatan Pertamina kembali dalam pengelolaan migas ini memang perlu didorong. Sebab, akan lebih mudah mengatur arus hasil minyak dan gas jika diambil alih oleh Pertamina. Jika dikelola oleh asing, maka pemerintah tidak punya wewenang untuk menentukan pemanfaatan hasil minyak dan gas yang menjadi wilayah asing. Namun keterlibatan Pertamina ini perlu dibarengi dengan pengawasan yang ketat.
Tidak dapat dipungkiri jika Indonesia belum sepenuhnya mampu mengelola minyak dan gas bumi. Oleh sebab itu keterlibatan kontraktor baik asing maupun lokal masih diperlukan. Namun dalam pelaksanaan PSC harus dilakukan pembenahan agar semangat kemandirian dan penguasaan teknologi dapat tercapai. Beberapa hal yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah adalah Pengendalian Cost Recovery, Aset fisik dan aset non fisik (intangible assets) menjadi milik negara, Proses pembelajaran teknologi pengelolaan migas. Jika semangat kemandirian dan penguasaan asset ini mampu diwujudkan, Indonesia akan sanggup mengelola minyak dan gas nya secara mandiri.
Referensi:
Awaludin R. 2013. Kontrak Bagi Hasil (Product Sharing Contract): Proses pembelajaran teknologi, semangat yang hilang dalam kontrak PSC. Materi Presentasi dalam Diskusi Kajian Bulanan MITI
Live kajian dapat dilihat di:
Diskusi Bulanan MITI-Menakar Penguasaan Asing di Sektor Migas Indonesia Part 1
Diskusi Bulanan MITI-Menakar Penguasaan Asing di Sektor Migas Indonesia Part 2
Diskusi Bulanan MITI-Menakar Penguasaan Asing di Sektor Migas Indonesia Part 3
Diskusi Bulanan MITI-Menakar Penguasaan Asing di Sektor Migas Indonesia Part 4