
Giant Sea Wall: Solusi atau Ancaman Baru bagi Pantura?
Maret 7, 2025
Satu Data Air Indonesia untuk Mitigasi Banjir
Maret 10, 2025Banjir bukan lagi sekadar bencana musiman. Di wilayah padat seperti Jabodetabek, banjir adalah konsekuensi dari tata kelola ruang yang lemah dan penanganan yang tidak menyatu. Para ilmuwan menegaskan, sudah saatnya negara hadir secara lebih serius dan sistematis.
Bencana Rutin yang Belum Ditangani dengan Cara Luar Biasa
Hampir setiap musim hujan, wilayah Jabodetabek dilanda banjir dengan pola yang makin tidak bisa diprediksi. Air yang mengalir dari hulu sungai di Bogor atau Depok sering kali menyebabkan luapan yang besar di Jakarta dan sekitarnya. Namun, meski fenomena ini terus berulang, pendekatan pemerintah dinilai masih bersifat sektoral dan tambal sulam.
“Program penanggulangan banjir di wilayah Jabodetabek masih bersifat parsial dan belum terintegrasi. Akibatnya, ketika terjadi peningkatan debit air di hulu sungai, banjir di sepanjang aliran ke Jabodetabek tidak terhindarkan,” ungkap Budi Heru Santoso, Peneliti Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI).
Menurut Budi, banjir sudah menjadi keniscayaan geografis di wilayah ini. Namun yang tak kalah penting adalah mengelola risiko banjir secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Banjir Bukan Sekadar Masalah Lingkungan
Penanganan banjir tak bisa lagi dianggap sebagai urusan Dinas Pekerjaan Umum semata. Dibutuhkan satu lembaga khusus yang diberi mandat dan sumber daya untuk menanggulangi banjir secara lintas wilayah administratif.
“Banjir bukan sekadar bencana tahunan, melainkan fenomena yang terus berulang di wilayah rawan. Karena itu perlu keberanian Pemerintah menegakkan aturan penggunaan tata ruang yang berpotensi menimbulkan banjir,” tegas Budi, yang juga merupakan peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Ia menambahkan bahwa persoalan banjir telah berkembang menjadi isu politik, ekonomi, sosial, dan bukan semata isu lingkungan. Artinya, penanganannya pun harus melibatkan semua elemen bangsa dalam sistem kolaboratif, bukan sektoral.
Bangun Sistem Kolaboratif Berbasis Data dan Empati
Kunci dari penanganan banjir masa depan adalah sistem yang berbasis data, sains, dan keterlibatan semua pihak. Budi menekankan pentingnya pelibatan tidak hanya pemerintah pusat dan daerah, tetapi juga dunia usaha, media massa, hingga komunitas lokal.
“Permendagri 101/2018 menetapkan bahwa pemerintah daerah wajib menyediakan data risiko bencana, termasuk peta rawan banjir dan sistem peringatan dini, agar masyarakat dapat bersiap dan merespons secara cepat,” jelasnya.
Tak kalah penting adalah membangun empati dan kesadaran masyarakat, sehingga solusi yang ditawarkan benar-benar bisa diterima dan dijalankan.
“Pemerintah perlu membangun empati dan keterlibatan masyarakat untuk mendapatkan solusi yang dapat diimplementasikan dengan efektif,” lanjut Budi.
Negara Harus Hadir
Solusi jangka panjang harus menggabungkan pendekatan struktural (seperti pembangunan tanggul, normalisasi sungai, dan sistem drainase) dengan pendekatan non-struktural (seperti pendidikan risiko bencana, regulasi tata ruang, dan sistem peringatan dini).
“Negara harus hadir mengatasi masalah ini. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, tetapi harus menggandeng seluruh elemen bangsa dalam sistem kolaboratif berbasis data dan sains,” tutupnya.
Dari Banjir ke Solusi Sistemik
Jika banjir dianggap sebagai fenomena tahunan yang tak bisa dihindari, maka kerugiannya akan terus membengkak dan kehidupan masyarakat akan makin terganggu. Tapi jika kita memandang banjir sebagai masalah sistemik yang bisa dicegah dan dikelola dengan sains dan kolaborasi, maka masa depan yang lebih aman bukanlah angan-angan.
Pemerintah tak bisa lagi menunda membangun sistem penanggulangan banjir terintegrasi, berkelanjutan, dan berbasis ilmu pengetahuan. Saatnya transformasi dari reaktif menjadi preventif.