
Food Estate Harus Libatkan Petani Lokal
Maret 7, 2025
Saatnya Penanggulangan Banjir dengan Sistem Terintegrasi Berbasis Sains
Maret 8, 2025Di balik ambisi besar pemerintah membangun tanggul laut raksasa di pesisir utara Jawa, para ilmuwan memperingatkan potensi krisis ekologis dan sosial yang tak bisa dianggap sepele.
Kajian Mendalam Wajib Didahulukan
Pemerintah telah menetapkan pembangunan Giant Sea Wall (GSW) sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) 2025–2029, dengan tujuan utama mengatasi banjir rob dan abrasi di wilayah pantai utara Pulau Jawa, termasuk Jakarta. Namun, rencana megastruktur ini memicu kekhawatiran dari kalangan ilmuwan.
“Kita menyambut baik upaya pemerintah mengatasi banjir rob, tapi apakah pembangunan GSW benar-benar merupakan jawaban terbaik? Jangan sampai solusi ini justru menimbulkan masalah baru di kemudian hari,” ujar Budi Heru Santoso, peneliti dari Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) dan periset BRIN.
Menurut Budi, proyek sebesar ini memerlukan kajian ekologis, teknis, dan sosial yang komprehensif, agar tidak menimbulkan dampak turunan yang merugikan masyarakat maupun lingkungan pesisir.
Risiko Ekologis: Pendangkalan dan Kerusakan Ekosistem Laut
Salah satu kekhawatiran utama adalah perubahan dinamika air dan sedimen di balik tanggul laut. Pembangunan GSW dapat menghambat proses alami pergerakan air laut yang selama ini berperan dalam menyebarkan sedimen.
“Adanya tembok laut akan menghentikan proses flush alami sedimen oleh gelombang. Akibatnya, terjadi pendangkalan yang lebih cepat di area belakang tembok,” jelas Budi.
Tak hanya itu, perubahan salinitas air di balik tembok juga berpotensi mengganggu ekosistem mangrove dan habitat ikan, yang selama ini menjadi bagian penting dari rantai pangan pesisir.
“Air di belakang tembok akan menjadi semakin tawar. Ekosistem bekas lahan mangrove akan terganggu karena spesies yang hidup di air payau atau asin tidak bisa beradaptasi,” tambahnya.
Biaya Tersembunyi dari Energi dan Infrastruktur Tambahan
Pembangunan tanggul raksasa bukan hanya soal membangun dinding beton sepanjang garis pantai. Setelah dibangun, pemerintah harus memelihara tinggi muka air secara buatan dengan bantuan pompa berkapasitas besar.
“Ini pekerjaan tambahan yang memerlukan biaya sangat besar. Air yang dipompa keluar juga membawa sedimen, dan ini bisa mencemari perairan luar tembok serta mengganggu ekosistem di sekitarnya,” ujar Budi.
Dampak lanjutan dari sistem pemompaan ini sangat besar, terutama jika tidak disiapkan infrastruktur dan anggaran operasional jangka panjang yang memadai.
Nelayan Tradisional di Ambang Krisis
Pembangunan GSW juga menyentuh sektor paling rentan di wilayah pesisir: nelayan tradisional. Jika muka air laut di belakang tembok diturunkan demi keamanan konstruksi, maka akses terhadap habitat ikan dan rajungan akan terganggu.
“Wilayah pesisir itu tempat bertelurnya rajungan. Kalau muka air turun 1–2 meter, habitatnya terganggu. Nelayan andon yang datang musiman dari Cirebon dan Indramayu akan kehilangan sumber penghidupan,” ungkap Budi.
Tak hanya itu, jika nelayan dipaksa mencari tangkapan lebih jauh, akan muncul konflik wilayah tangkap, serta tantangan baru karena keterbatasan teknologi dan modal.
“Memindahkan area tangkapan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Laut Jawa sudah padat. Perbedaan budaya penangkapan, teknologi, hingga akses permodalan akan jadi kendala besar,” tegasnya.
Menimbang Manfaat dan Risiko Secara Ilmiah
Giant Sea Wall bukan proyek biasa. Ia adalah simbol dari pertaruhan antara ambisi pembangunan dan keberlanjutan lingkungan. Oleh karena itu, Budi Heru Santoso dan para ilmuwan MITI mendesak agar pemerintah benar-benar mempertimbangkan semua aspek secara holistik, dari teknis hingga sosial-ekologis, sebelum memulai konstruksi skala besar ini.
“Jangan sampai proyek yang bertujuan menyelamatkan, justru menjadi bumerang bagi masyarakat dan ekosistem pesisir,” pungkasnya.