
Korupsi Pertamina: Mafia Migas Masih Berkuasa
Februari 28, 2025
Pesawat N219 Amfibi, Langkah Strategis Kemandirian Teknologi Nasional
Maret 6, 2025Mahalnya harga BBM bukan hanya soal anggaran negara, tetapi juga soal tata kelola dan siapa yang benar-benar mengendalikan di balik layar.
Kasus korupsi di tubuh PT Pertamina yang merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun dalam satu tahun telah mengguncang fondasi kepercayaan publik terhadap perusahaan energi pelat merah tersebut. Menurut Mulyanto, Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI), kerusakan yang ditimbulkan tak hanya soal kerugian keuangan negara, tetapi juga keruntuhan reputasi Pertamina di mata rakyat.
“Damage effect yang timbul akibat kasus korupsi Pertamina itu sudah meruntuhkan kepercayaan publik,” tegas Mulyanto.
“Sekarang, masyarakat mulai meninggalkan produk Pertamina meskipun harganya lebih murah.”
Fenomena ini tercermin dari tren baru di berbagai daerah, di mana konsumen memilih SPBU asing yang dinilai lebih transparan dan menjamin kualitas, meskipun harga BBM-nya lebih mahal.
Reformasi Tata Kelola Migas Harus Bebas dari Kepentingan Politik
MITI mendesak pemerintah untuk tidak hanya menyelesaikan kasus ini secara kuratif, tetapi juga melakukan reformasi menyeluruh secara preventif, khususnya dalam hal tata kelola impor migas.
“Pemerintah harus serius menangani kasus korupsi Pertamina, bukan hanya dari sisi kuratif—mengungkap pelaku dan menghukum mereka seadil-adilnya—tetapi juga dari sisi preventif: merombak tata kelola impor migas agar transparan dan akuntabel,” jelas Mulyanto.
MITI juga menyoroti persoalan mendasar yang terus berulang: intervensi politik dalam tubuh BUMN. Menurut Mulyanto, ini adalah akar masalah yang membuat reformasi struktural tidak pernah benar-benar tuntas.
“Sudah menjadi rahasia publik, bahwa selama ini BUMN menjadi sapi perah bagi partai politik,” ujarnya.
“Kalau Pemerintah memang beritikad baik, semestinya tidak menempatkan Dirut, Komisaris Utama, atau pejabat Pertamina yang terafiliasi dengan partai. Tempatkan orang-orang profesional yang amanah.”
Korupsi Terstruktur Dari Hulu ke Hilir
Mulyanto menjelaskan bahwa pola korupsi yang terjadi bukan insidental, tetapi terstruktur dan berlangsung lama, dengan skema yang sistematis mulai dari tahap hulu.
“Tindak korupsi ini dimulai dari hulu, dengan pengkondisian untuk menurunkan readiness atau produksi kilang,” terang Mulyanto.
Para pelaku kemudian menolak minyak mentah dari produksi dalam negeri dengan dalih tidak memenuhi spesifikasi harga dan kualitas. Dampaknya, minyak domestik tak terserap, dan jalan untuk melakukan impor dibuka lebar. Di titik inilah berbagai modus korupsi impor migas terjadi.
“Ini kan korupsi terstruktur dan berjamaah, yang terjadi dalam kurun waktu panjang tanpa terdeteksi aparat, yakni dari 2018 sampai 2023,” ungkap Mulyanto.
Membangun Kepercayaan Publik Bukan Sekadar Pidato
MITI menegaskan bahwa kepercayaan publik tak akan bisa dibangun hanya lewat pidato atau pencitraan semata. Dibutuhkan itikad baik, kinerja yang unggul, dan konsistensi dalam penegakan tata kelola yang bersih.
“Untuk membangun kepercayaan publik tidak mudah, tanpa itikad baik, kinerja yang unggul dan konsisten,” pungkas Mulyanto.
Penutup: Momentum Reformasi atau Sekadar Ganti Pemain?
Publik kini menunggu, apakah Pemerintah benar-benar akan melakukan pembenahan menyeluruh, atau hanya mengganti wajah-wajah lama dengan “pemain baru” yang membawa modus lama. Reformasi migas dan BUMN harus bebas dari beban politik dan kepentingan pragmatis, jika ingin membangun sektor energi nasional yang kredibel dan berkelanjutan.