
Saatnya Oposisi Mundur dari BRIN dan BPIP, Tunjukkan Sikap Tegas
Februari 22, 2025
Korupsi Pertamina: Mafia Migas Masih Berkuasa
Februari 28, 2025Munculnya dugaan “Pertamax oplosan” memicu kegelisahan publik. MITI mendesak audit menyeluruh untuk pulihkan kepercayaan masyarakat.
Publik kembali diguncang oleh isu serius yang menyentuh langsung kebutuhan sehari-hari: bahan bakar minyak (BBM). Kali ini, muncul dugaan bahwa Pertamax, produk andalan PT Pertamina, sebenarnya hanyalah Pertalite yang dioplos. Kabar ini langsung mencuat di media sosial dan menciptakan gelombang ketidakpercayaan terhadap kualitas BBM bersubsidi dan nonsubsidi yang beredar di SPBU.
Menanggapi isu tersebut, Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) menyerukan pemerintah untuk melakukan uji sampel Pertamax dari berbagai SPBU di seluruh Indonesia, guna mengonfirmasi kesesuaian spesifikasi BBM dengan klaim resmi yang selama ini disampaikan.
Pertamax Diduga Oplosan: MITI Desak Uji Sampel Independen
“Pemerintah melalui Dirjen Migas atau BPH Migas harus dapat memastikan bahwa Pertamax yang dijual Pertamina di SPBU-SPBU benar-benar sesuai dengan spesifikasi yang benar, yakni dengan RON 92,” tegas Mulyanto, Pembina MITI sekaligus mantan anggota Komisi VII DPR RI yang membidangi energi.
MITI menilai bahwa klarifikasi melalui pernyataan sepihak tidak cukup. Diperlukan verifikasi berbasis data teknis, melalui pengambilan dan pengujian sampel BBM secara acak, terbuka, dan ilmiah. Upaya ini menjadi penting mengingat keresahan publik atas dugaan adanya permainan dalam kualitas dan harga Pertamax yang selama ini dianggap sebagai BBM berkualitas tinggi.
“Sekarang ada anggapan kalau Pertamax adalah Pertalite yang tidak ngantri,” sindir Mulyanto dalam pernyataan kritisnya.
Kerugian Negara Mencapai Ratusan Triliun Rupiah
MITI tidak hanya menyoroti masalah kualitas produk, tetapi juga potensi penyimpangan dalam pengadaan dan impor BBM, khususnya yang melibatkan selisih harga antara RON 90 dan RON 92. Mulyanto membeberkan bahwa potensi kerugian negara yang tercatat sangat signifikan.
“Kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun, termasuk pemberian kompensasi BBM sebesar Rp 126 triliun dan subsidi BBM Rp 21 triliun dari tahun 2018 hingga 2023,” ungkapnya.
Ia menilai bahwa besarnya dana tersebut tidak sebanding dengan manfaat ekonomi maupun transparansi penggunaan, yang seharusnya dapat dipertanggungjawabkan ke publik. Terlebih, nilai subsidi BBM untuk tahun 2024 sendiri mencapai Rp 145,8 triliun.
Tuntutan Transparansi dan Audit Menyeluruh
MITI mendesak pemerintah untuk tidak setengah hati dalam mengusut kasus ini. Mulyanto menegaskan bahwa transparansi dan akuntabilitas pengelolaan BBM nasional merupakan fondasi penting dalam membangun kepercayaan publik terhadap Pemerintah dan BUMN seperti Pertamina.
“Pemerintah harus bersungguh-sungguh membongkar kasus ini hingga ke akar-akarnya. Jangan ragu memeriksa siapa pun yang terlibat, baik pejabat tinggi, politikus, maupun aparat yang membekingi,” tegasnya.
Selain kerugian fiskal, Mulyanto menyoroti dampak jangka panjang terhadap kepercayaan publik, yang bisa jauh lebih merugikan secara politik dan sosial bila tidak segera dipulihkan.
Pulihkan Kepercayaan Publik dengan Bukti, Bukan Janji
MITI menekankan bahwa satu-satunya cara untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat adalah dengan menyediakan bukti objektif melalui pengujian ilmiah terhadap kualitas Pertamax, bukan sekadar klaim dari perusahaan.
Langkah ini juga akan menjadi simbol komitmen Pemerintah terhadap perlindungan konsumen dan penegakan hukum dalam tata kelola energi nasional.
Ketika publik mulai mempertanyakan apa yang mereka isi di tangki kendaraan mereka, maka saatnya negara hadir bukan hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai penjaga integritas sektor energi.
Kata kunci SEO yang digunakan secara natural: