
Relaksasi Ekspor Tembaga PT Freeport Jadi Sorotan
Desember 26, 2024
Pembebasan WNA Penambang Emas Ilegal 774 Kg Dinilai Janggal
Januari 16, 2025Tangerang kembali jadi sorotan setelah dibangunnya pagar laut bambu sepanjang 30 kilometer untuk mitigasi abrasi dan potensi tsunami. Namun, para ilmuwan dari MITI menilai pendekatan ini belum meyakinkan secara teknis dan ilmiah.
Solusi Ramah Lingkungan atau Sekadar Gimmick?
Pemerintah Kabupaten Tangerang menginisiasi pembangunan pagar laut bambu sepanjang 30,16 kilometer dari Desa Muncung hingga Pakuhaji. Struktur ini terlihat sederhana—bambu setinggi enam meter, anyaman bambu, paranet, dan pemberat dari karung pasir—dan ditempatkan agak jauh dari garis pantai.
Tujuannya adalah menahan abrasi dan, lebih ambisius lagi, meredam potensi dampak tsunami. Namun, Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) menyampaikan keraguan serius atas efektivitasnya.
“Penggunaan pagar bambu dengan teknis sederhana untuk menahan abrasi, apalagi untuk menghadapi gelombang tsunami, sungguh tidak meyakinkan secara ekonomis dan berkelanjutan,” ujar Mulyanto, Pembina MITI, berdasarkan diskusi para ilmuwan dan pakar dari BPPT dan BRIN pada 12 Januari.
Tantangan Teknis dan Umur Material yang Pendek
Bambu dikenal sebagai bahan ramah lingkungan, tetapi menurut MITI, penggunaannya untuk proyek laut membutuhkan perlakuan khusus.
“Bambu memiliki umur pakai yang terbatas, terutama jika tidak diawetkan. Pemeliharaan rutin diperlukan untuk mengganti batang yang lapuk atau rusak,” jelas Mulyanto.
MITI menambahkan bahwa pagar bambu mungkin efektif untuk mengurangi abrasi ringan, asalkan dipadukan dengan pendekatan ekosistem berbasis vegetasi seperti mangrove atau cemara laut. Kombinasi ini dianggap lebih mampu memberikan stabilitas tambahan terhadap struktur pantai.
Namun untuk tsunami?
“Dalam kondisi gelombang besar seperti tsunami yang memiliki energi tinggi, pagar bambu tidak efektif. Paling-paling hanya mampu mengurangi sebagian kecil energi gelombang laut, dan itu pun bukan solusi tunggal,” tegas Mulyanto.
Ironi di Pantai Utara: Pagar Laut Ada, Abrasi Tetap Parah
MITI juga menyoroti kontradiksi nyata di lapangan. Di lokasi pagar laut bambu yang katanya dibangun untuk melindungi kawasan dari abrasi dan tsunami, justru terjadi abrasi yang parah di Pulau Cangkir dan Pulau Cinta yang letaknya tidak jauh dari pagar tersebut.
Menurut laporan tokoh nelayan setempat, abrasi telah menenggelamkan hampir 500 meter garis pantai, memperparah kondisi ekosistem pesisir.
“Abrasi ini diduga kuat terjadi akibat pengerukan pasir massif oleh pengembang kawasan PIK 2 yang membuat ombak dan arus laut menjadi semakin deras,” jelas Mulyanto.
Ia juga menyoroti bahwa upaya pelestarian yang lebih efektif justru datang dari masyarakat, melalui penanaman vegetasi pantai secara swadaya.
Evaluasi Kritis dan Uji Ilmiah Harus Didahulukan
MITI menyerukan agar pemerintah tidak gegabah mengembangkan model pagar laut bambu ini secara luas tanpa melakukan uji laboratorium dan studi teknis yang komprehensif. Evaluasi harus mempertimbangkan kualitas bahan, metode pemasangan, desain struktur, dan kondisi lingkungan laut.
“Ketika semua faktor ini dipertimbangkan dengan baik, pagar bambu mungkin bisa jadi solusi mitigasi abrasi yang efektif, ekonomis, dan berkelanjutan—tapi tetap tidak untuk tsunami,” pungkas Mulyanto.
Antara Gagasan Lokal dan Standar Ilmiah
Penggunaan bambu sebagai solusi ramah lingkungan tentu patut diapresiasi, terlebih dalam upaya mitigasi berbasis komunitas. Namun, ketika menyangkut keselamatan masyarakat pesisir dan potensi bencana skala besar seperti tsunami, standar ilmiah dan evaluasi teknis tidak bisa ditawar.
Jika tidak, pembangunan pagar bambu ini bisa menjadi sekadar simbol—tanpa substansi, tanpa perlindungan nyata.