
MITI Desak Presiden Terpilih Kembalikan BATAN, LAPAN, dan BPPT Seperti Era Habibie
Oktober 24, 2024
MITI Desak Presiden Prabowo Bentuk Tim Khusus Usut Mafia BBM Ilegal
Oktober 29, 2024Jakarta – Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) mendesak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk segera menghidupkan kembali Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sebagai lembaga pelaksana Undang-Undang Ketenaganukliran yang independen dan terfokus.
Permintaan ini bukan tanpa alasan. Selama hampir satu dekade terakhir, sejak BATAN dilebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pengelolaan ketenaganukliran nasional dinilai mati suri. Padahal, pemanfaatan tenaga nuklir sangat strategis, salah satunya untuk meningkatkan layanan kesehatan, khususnya pengobatan kanker.
BATAN dan Peran Strategisnya dalam Kesehatan
Salah satu manfaat terbesar BATAN selama ini adalah kemampuannya memproduksi radioisotop dan radiofarmaka—komponen penting dalam instalasi kedokteran nuklir seperti PET scan dan terapi kanker. Produk ini sebelumnya dihasilkan di Kawasan Nuklir Serpong melalui dukungan fasilitas dan sumber daya manusia BATAN yang unggul.
Namun setelah BATAN dilebur ke BRIN, pengawasan dan produksi dalam negeri mandek. Alhasil, seluruh radiofarmaka kini harus diimpor dengan harga sangat tinggi. Akibatnya, beban biaya meningkat dan pelayanan kepada pasien kanker pun terganggu.
“Fasilitasnya ada, SDM-nya banyak, tapi pemanfaatan nuklir dalam negeri justru merosot. Ini sangat disayangkan,” kata Rohadi Awaludin, Anggota Pengarah MITI sekaligus mantan Kepala Organisasi Riset Nuklir BRIN.
Implikasi Serius bagi Pasien Kanker
Permintaan terhadap layanan kedokteran nuklir terus meningkat. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa kasus kanker di Indonesia mencapai lebih dari 400.000 per tahun, dan jumlahnya terus bertambah. Pemerintah bahkan telah merencanakan peningkatan instalasi kedokteran nuklir di berbagai rumah sakit untuk memperluas akses layanan.
Namun, tanpa dukungan industri radiofarmaka dalam negeri, kebutuhan ini akan membebani keuangan negara. Impor radiofarmaka dapat menguras devisa hingga ratusan miliar rupiah setiap tahunnya, belum termasuk biaya logistik dan keamanan khusus karena material tersebut termasuk bahan sensitif.
“Kalau tidak segera dibenahi, pasien bisa berbondong-bondong ke luar negeri hanya untuk mendapatkan layanan kedokteran nuklir,” ungkap Rohadi prihatin.
BATAN Diperlukan untuk Kemandirian Teknologi Nuklir
BATAN selama ini tak hanya melakukan penelitian, tapi juga menjadi penggerak ekosistem nuklir nasional—dari hulu hingga hilir. BATAN berperan dalam sertifikasi, pelatihan SDM, pengawasan keamanan, hingga kemitraan industri dan rumah sakit.
Dalam konteks ketahanan nasional, kehadiran lembaga seperti BATAN sangat penting agar Indonesia tidak bergantung pada negara lain dalam teknologi krusial seperti nuklir untuk kesehatan dan energi.
“Negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, dan bahkan Bangladesh kini justru mempercepat pemanfaatan tenaga nuklir. Sementara kita malah mundur,” kata Rohadi.
Seruan untuk Pemerintahan Baru
MITI berharap Presiden Prabowo segera mengambil langkah konkret untuk membentuk kembali BATAN secara terpisah dari BRIN. Kelembagaan yang fokus dan terintegrasi dianggap sebagai kunci untuk membangkitkan kembali pemanfaatan tenaga nuklir yang aman dan bermanfaat.
“BATAN bukan sekadar lembaga riset, tetapi ujung tombak pemanfaatan teknologi strategis. Ini soal kemandirian bangsa dalam bidang kesehatan dan energi,” tegas Rohadi.
Kini, saatnya Indonesia mengambil kembali arah kebijakan yang tepat: membangkitkan BATAN untuk menyelamatkan dan memperkuat layanan kesehatan nasional, sekaligus membuka jalan menuju kedaulatan teknologi yang berdaya saing global.