
Dua Generasi Ilmuwan MITI Inspirasi Generasi Muda di Universitas Jambi
Mei 4, 2017
MITI Minta Presiden Prabowo Aktifkan Kembali BATAN Demi Layanan Kesehatan Nuklir Nasional
Oktober 25, 2024Jakarta – Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI), Mulyanto, mendesak Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menata ulang kelembagaan riset dan teknologi nasional. Ia mendorong agar lembaga-lembaga strategis seperti BATAN, LAPAN, dan BPPT yang sebelumnya dilebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dipisahkan kembali demi efektivitas dan kemandirian riset Indonesia.
Lembaga-Lembaga Unggulan yang Kini Dilebur
Sejak pembentukan BRIN pada tahun 2021, pemerintah melakukan penggabungan berbagai lembaga penelitian dan pengembangan, termasuk:
- BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional): Lembaga yang sejak 1958 berperan dalam riset dan pengembangan teknologi nuklir untuk kepentingan energi, kesehatan, pertanian, dan industri. BATAN dikenal sebagai pelopor riset nuklir di Asia Tenggara.
- LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional): Didirikan pada 1963, LAPAN berperan dalam pengembangan teknologi satelit, pengamatan bumi, dan sistem informasi antariksa. Lembaga ini pernah sukses meluncurkan satelit buatan anak bangsa seperti LAPAN-A2 dan LAPAN-A3.
- BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi): Sejak 1978, BPPT dikenal sebagai lembaga yang menjembatani inovasi teknologi dengan kebutuhan pembangunan nasional. BPPT banyak berkontribusi dalam proyek strategis seperti pembangkit listrik mikrohidro, teknologi pengolahan air bersih, hingga rekayasa industri.
Namun, sejak dilebur ke dalam BRIN, ketiganya tidak lagi beroperasi sebagai lembaga mandiri. Fungsi-fungsi mereka dilanjutkan oleh organisasi-organisasi riset (OR) di bawah BRIN, namun banyak pihak menilai terjadi penurunan efektivitas, fleksibilitas, dan semangat inovasi.
Kekhawatiran Menurunnya Kinerja dan Hilangnya Arah
Mulyanto, menyebut peleburan lembaga-lembaga tersebut tidak hanya bertentangan dengan Undang-Undang Ketenaganukliran dan Keantariksaan, tetapi juga menyebabkan “mati suri” dari lembaga yang selama ini menjadi ujung tombak riset terapan di Indonesia.
“Sejak dilebur, program strategis yang sebelumnya berjalan baik justru dipreteli. Fungsi riset kini lebih diarahkan ke publikasi jurnal, bukan pengembangan teknologi yang berdampak langsung bagi masyarakat,” jelas Mulyanto.
Ia juga menyinggung stagnasi dalam layanan teknologi, rekayasa, dan pengkajian yang sebelumnya menjadi kekuatan BPPT dan BATAN. Akibatnya, hilirisasi riset dan dukungan teknologi untuk industri nasional menjadi lemah.
Dorongan untuk Desentralisasi dan Penguatan Lembaga Riset
MITI menilai perlu adanya desentralisasi dalam pengelolaan riset. Struktur BRIN yang sangat tersentralistik membuat lembaga-lembaga kehilangan kelincahan dan daya inovasi. Dalam situasi global yang menuntut kecepatan dan ketepatan teknologi, pendekatan “superbody” dinilai tidak efektif.
“Kalau ingin industri nasional kuat dan sumber daya alam kita bisa diolah dengan teknologi tinggi, maka kita butuh lembaga ristek yang kokoh dan fokus. Kembalikan fungsi BATAN, LAPAN, dan BPPT seperti dulu,” tegas Mulyanto.
Harapan pada Pemerintahan Baru
Mulyanto berharap Presiden Prabowo berani melakukan penataan ulang kelembagaan riset di era pemerintahannya. Ia menginginkan Indonesia kembali ke masa keemasan riset dan teknologi seperti di era Presiden BJ. Habibie—di mana riset menjadi kekuatan strategis pembangunan nasional, bukan hanya rutinitas birokrasi.
“Syukur-syukur saintek kita bisa kembali berjaya seperti masa Pak Habibie, di mana teknologi menjadi simbol kemajuan bangsa, bukan hanya dokumen di atas meja,” pungkasnya.