P2M MITI Lampung Kembangkan Usaha Ulat Hongkong
December 19, 2014
MITI: 40 Doktor Bahas Pembangunan Indonesia Berbasis Pengetahuan
January 2, 2015Semarang (miti.or.id) — Tim P2M MITI Semarang kembali unjuk gigi. Mereka membantu masyarakat petani jamur tiram di Desa Gending untuk menambah kualitas dan masa simpan produk dengan teknologi tepat guna. Menggunakan skema dana Hibah MITI 2014, tim yang beranggotakan mahasiswa Universitas Diponegoro ini berhasil menjadi pionir dalam menjembatani inovasi teknologi kepada masyarakat.
Desa Genting merupakan sentral budidaya jamur di wilayah Kabupaten Ungaran. Salah satu jamur yang dibudidayakan adalah jamur tiram. Jamur tiram dikenal sebagai jamur yang mudah dikembangkan di daerah pegunungan yang lembab seperti Desa Genting dengan ketinggian 1.450 meter, curah hujan 2.717 mm, dan hari hujannya mencapai 147 per tahun. Mayoritas penduduk daerah ini adalah petani, jumlah petani menempati ranking tertinggi dibanding mata pencaharian yang lain.
Pertama kali jamur dikenalkan oleh seorang penyuluh yang berkunjung ke Desa Genting dan menginisiasi budidaya jamur di kawasan ini. Sejak itu masyarakat terjun ke budidaya jamur hingga saat ini lebih dari 15 tahun. Seiring berjalannya waktu, petani mulai tertarik dan mempelajari teknik budidaya jamur. Mereka juga mempelajari bagaimana cara membuat bag log jamur, membuat kumbung jamur, mengepul jamur, dan menjual jamur ke pasar terdekat. Jamur merupakan sejenis vegetarian yang banyak disukai masyarakat dan memiliki ciri khas rasa yang bisa menyesuaikan dengan bumbu. Jamur biasanya dijual dan didistribusikan dalam bentuk segar kepada masyarakat. Jamur segar ini bermaksud untuk dimasak menjadi sayur, sate, steak dan olahan lainnya.
Petani di Desa Genting membentuk kelompok petani jamur yang dikenal “Cipta Mandiri”. Kelompok petani ini merupakan sarana untuk menjalin komunikasi sesama petani jamur. Alhasil petani Desa Genting kini pun telah mensuplai log jamur ke berbagai daerah bahkan hingga ke luar pulau. Namun, untuk jamur yang dihasilkan dari budidaya hanya mampu dikirimkan ke pasar terdekat seperti ke Pasar Sumowono, Pasar Ambarawa, Pasar Klewer, dan Pasar Bandungan. Petani pun hanya menyerahkan ke pengepul (pengumpul jamur) yang selanjutnya menjual ke distributor di pasar tradisional tersebut. Distributor (pedagang) pun menjual ke konsumen. Sejak pagi petani memanen jamur pukul 8 harus telah menyerahkan jamur tersebut ke pengepul. Pukul 8-11 pagi pengepul mengangin-anginkan jamur dan membungkusnya. Pukul 13.00 petani jamur menjual ke distributor dan distributorlah yang berperan menjual lagi ke para konsumen. Proses distribusi harus berlangsung cepat mengingat masa simpan jamur hanya 1 hari. Petani pun tak banyak mendapatkan keuntungan dari hasil jamurnya. Padahal produksi jamur di Desa Genting mampu mencapai 50-100 kg per hari per petnai. Petani belum mampu mengirimkan jamur ke daerah lain karena terkendala proses distribusi yang membutuhkan waktu yang lama dan kondisi jamur tiram yang rentan kontaminasi.
Petani jamur tiram kewalahan dalam mengahadapi masa pasca panen yang terlalu cepat dan singkat. Padahal para petani membutuhkan waktu untuk distribusi dan penjualan. Di akhir tahun 2014 harga jamur dari petani di Desa Genting hanya mencapai nominal Rp7.500,- namun dipasar sudah mencapai Rp15.000,- per kilogram. Begitu rendahnya harga yang dibeli dari petani sehingga mereka hanya sedikit mendapat keuntungan. Mereka hanya berpikir bagaimana produksi jamur tiram segera laku meskipun dengan harga yang murah.
Siti Rukayah bersama tiga mahasiswa Universitas Diponegoro lainnya, Nurul Ulfah Aprily, Ria Safitri, dan Feisal Ardi Nugroho menginisiasi inovasi alat pengemas jamur tiram dengan judul program “Pengemasan Jamur Tiram dengan Teknologi Modified Atmosphere Packaging (MAP) guna Meningkatkan Masa Simpan di Desa Genting Kabupaten Semarang dengan skema pendanaan P2M MITI. Keunggulan dari teknologi ini adalah pengemasan berbasis N2 berkerja dengan cara menurunkan O2 dan meningkatkan CO2 menghilangkan kontak jamur tiram dengan O2. Teknologi pengemasan ini juga menurunkan kontaminasi dan pembusukan akibat tekanan luar ruangan. Selanjutnya tercipta produk pangan yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal). Penggunaan teknologi ini juga mampu memperpanjang umur satu hingga dua minggu bergantung pada tingkat kelembaban dan kadar air jamur tiram. Teknologi ini mampu mendistribusikan produk melalui jarak yang jauh dengan pasokan kualitas produk yang lebih baik. Produk dengan sistem pendinginan akan lebih awet dapat dijual ke swalayan, hipermart dan pasar modern lainnya.
Penerapan teknologi tersebut dirangkai sebagai bentuk program pemberdayaan dan pengabdian masyarakat yang meliputi sosialisasi, pembinaan, pendampingan, penyuluhan dan sharing masyarakat. Beberapa pelatihan sebagai pendukung program meliputi pelatihan pasca panen, pelatihan pengemasan, serta pelatihan penggunaan dan kerja alat. Masyarakat pun sangat antusias dan berkomitmen untuk terus berkembang. Ponimin, tokoh masyarakat Desa Ginting sangat mengapresiasi inovasi mahasiswa ini. “Semoga program ini dapat terus berkesinambungan, mahasiswa dan dosen sebagai peneliti kami petani yang menerapkannya”, ujarnya.
Program pengembangan pemberdayaan dan pengabdian masyarakat ini didukung oleh MITI atas bimbingan dan kerjasama dari Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Semarang. Tim pelaksana pun berharap program ini dapat terus berlanjut dan berkesinambungan dengan dukungan dan sinergisitas dari stakeholder yang ada. (SR/DWH-Red)
1 Comment
Bismillah
Semoga bermanfaat untuk kami para petani.
Jazakumullah khair wa baarakallahumfiik….